Tourism



Adat Istiadat Kampung Naga
Kampung Naga merupakan kampung adat yang menjadi salah satu tempat wisata. Dan pastinya ada beberapa hal yang unik di kampung wisata ini, salah satunya ialah keunikan dalam adat istiadat mereka. Di antaranya seperti upacara-upacara adat yang dilakukan, hal-hal yang ditabukan, tempat-tempat yang ditabukan, adat terhadap waktu sampai religi dan sistem kepercayaan.    
Upacara-Upacara  Adat yang Dilakukan
Upacara-upacara yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga ialah :
1.      Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan hari sabtu. Upacara ini menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Pelaksanaan upacara menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan usaha untuk menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan adat istiadat. Warga Kampung Naga sangat patuh terhadap aturan adat. Selain karena penghormatan kepada leluhurnya, juga untuk menjaga amanat dan wasiat yang bila dilanggar dikhawatirkan akan menimbulkan malapetaka.
2.      Hajat Sasih
persiapan upacara adat
Upacara Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Kampung Naga, baik yang bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala nikmat yang telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.
Upacara Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai berikut:
  1. Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28
  2. Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
  3. Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18
  4. Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
  5. Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama Islam dapat dijalankan secara harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan membersihkan makam. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau susuci. Selesai mandi mereka berwudhu di tempat itu juga, kemudian mengenakan pakaian khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju masjid. Sebelum masuk mereka mencuci kaki terlebih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukkan kepala dan mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan merendahkan diri, karena masjid merupakan tempat beribadah dan suci. Kemudian masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil memegang sapu lidi tersebut.
Adapun kuncen, lebe, dan punduh atau tetua kampung, selesai mandi kemudian berwudhu dan mengenakan pakaian upacara, mereka tidak menuju ke masjid melainkan ke Bumi Ageng. Di Bumi Ageng ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh membawa parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam masjid keluar dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai penghormatan kepada makam Eyang Singaparna.
Setibanya di makam, selain kuncen tidak ada yang boleh masuk ke dalam. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan parakuyan kepada kuncen, kemudian keluar lagi dan tinggal bersama para peserta upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin ) kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam, kuncen dan para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa dalam hati untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan diakhri dengan doa bersama.
Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan merangkak. Setelah bersalaman, para peserta keluar dari makam, diikuti oleh punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para" masjid. Sebelum disimpan, sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan di Bumi Ageng.
Acara selanjutnya diadakan di masjid. Setelah para peserta upacara masuk dan duduk di dalam masjid, kemudian datanglah seorang wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi. Kemudian ia memberikannya kepada kuncen. Wanita lain datang membawa nasi tumpeng dan meletakannya ditengah-tengah. Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai pembukaan. Selanjutnya lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan ucapan amin dan pembacaan surat Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta upacara Hajat Sasih tersebut. Usai upacara, dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang langsung dimakan di masjid, ada pula yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan bersama keluarga mereka.
3.      Perkawinan
Upacara perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah selesainya akad nikah. Adapun tahap-tahap upacara tersebut antara lain ialah upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar (berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
Upacara sawer dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat panyaweran, tepat di muka pintu. Mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua pengantin. Panyawer mengucapkan ijab kabul, dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer. Ketika melantunkan syair sawer, penyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke arah pengantin. Anak-anak yang bergerombol di belakang pengantin saling berebut memungut uang sawer. Isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin baru.
Usai upacara sawer, acara kemudian dilanjutkan dengan upacara nincak endog. Endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki menginjaknya. Kemudian mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu. Dalam upacara buka pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh masing-masing pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai laki-laki mengucapkan salam 'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab oleh mempelai perempuan 'Wassalamu'alaikum Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai pintu pun dibuka dan selesailah upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan, dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan munjungan. Ketiga upacara terakhir ini hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara riungan adalah upacara yang hanya dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen. Adapun kedua mempelai duduk berhadapan, setelah semua peserta hadir, kasur yang akan dipakai pengantin diletakan di depan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil membakar kemenyan. Kasur kemudian di angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara munjungan. Kedua mempelai bersujud sungkem kepada kedua orang tua mereka, sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.
Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan di atas. Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para undangan, tuan rumah membagikan makanan kepada mereka (para tamu). Masing-masing mendapatkan boboko (bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi opak, wajit, ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai wajib berkunjung kepada saudara-saudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Maksudnya untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan mereka selama acara perkawinan yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung kedua mempelai membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga yang dikunjungi memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan rumah tangga mereka.
Hal-Hal yang Ditabukan
              Tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh, khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya. Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap warga Kampung Naga. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
                Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni. Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok atau gedong.
               Rumah tidak boleh dilengkapi dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
bentuk rumah masyarakat Kampung Naga
               Di bidang kesenian masyarakat Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat, dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan, angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan, sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang, pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di luar wilayah Kampung Naga.
              Adapun pantangan atau tabu yang lainnya yaitu pada hari selasa, rabu, dan sabtu. Masyarakat kampung Naga dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal-usul kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di tasikmalaya ada sebuah tempat yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut Galunggung, karena kata Singaparna (di Tasik) berdekatan dengan Singaparna nama leluhur masyarakat Kampung Naga.
            Warga Kampung Naga tidak mengenal alat musik kecuali Angklung dan Sejak. Mereka juga tidak mengenal alat-alat musik lain seperti gitar, biola, piano, drum, suling, pianika, dsb. Meskipun begitu, mereka suka mendengar musik melalui radio. Musik kesukaan mereka adalah musik dangdut. 
Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat diadakan upacara adat bagi semua keturunannya.
Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun, nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan Masyarakat Kampung Naga.
Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung Naga yang dihormati, seperti Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju, Kabupaten Tasikmalaya, yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik "kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram Yogyakarta menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai bidang pertanian.
Tempat yang ditabukan oleh masyarakat Kampung Naga yaitu
Selanjutnya, ada beberapa tempat yang ditabukan oleh masyarakat Kampung Naga, antara lain :
hutan larangan seberangan Sungai Ciwulan
  1. Hutan Larangan : tempat ini ditabukan untuk dijaga kelestariannya. Disana juga terdapat makam para leluhur Kampung Naga yang sangat dihormati jasa-jasanya sewaktu beliau masih hidup. Di samping itu, para tamu atau wisatawan dari luar Kampung Naga tidak boleh masuk dan mengambil photo di dalamnya, karena itu sudah menjadi peraturan yang dibuat oleh para warga Kampung Naga. Hanya ”juru kunci” lah yang dapat masuk ketempat itu dengan melakukan ritual khusus dengan berpakaian baju putih.
  2. Hutan Lindung : kurang lebih sama seperti Hutan Larangan, Hutan ini di jaga kelestariannya. Para turis asing dan lokal juga tidak boleh memasuki area hutan lindung, karena berfungsi untuk menjaga kelestarian sumber daya alam dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan warga Kampung Naga. Dan warga setempat pun tidak di perbolehkan untuk menebang pohon secara liar, karena dapat mengganggu keseimbangan ekosistem alam.
  3. Bumi Ageng : merupakan tempat nenek moyang masyarakat Kampung Naga. Pada tahun 1956, tempat ini dibakar oleh DI/II. Kemudian tempat ini dibangun kembali. Sekarang tempat itu adalah duplikatnya dan sekarang ditempati oleh seorang warga perempuan berumur 74 tahun (data tahun 2009). Selain itu, penduduk pun dilarang untuk mendekati dan masuk ke rumah tersebut, terkecuali untuk para kuncen, dimana enam tahun sekali mengunjungi tempat tersebut. Fungsi dari Bumi Ageng adalah sebagai tempat untuk pembuatan makanan yang ditujukan apabila pak kuncen mau pergi mengunjungi makam yang ada di hutan larangan. Hal ini merupakan syarat utama dalam acara ritual yang dilakukan pak kuncen di makam tersebut. Para tamu juga tidak diperkenankan untuk mengambil photo dari jarak dekat, mereka harus mengambil gambarnya dari jarak kurang lebih lima belas meter (15 m).
  4. Sungai Ciwulan : untuk para turis lokal maupun asing tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam sungai  tersebut, karena mereka tidak tahu seluk- beluk tempat mana saja yang dalam atau dangkal. Di tambah terdapat palung di dasar sungai tersebut. Jadi untuk mengantisipasi terjadi hal-hal yang tidak di inginkan seperti terbawa arus atau tenggelam, mereka tidak boleh mendekati area perairan sungai.
Adat terhadap Waktu
Di samping memiliki tempat yang ditabukan, masyarakat Kampung Naga juga memiliki adat yang khas, yaitu kepercayaan terhadap waktu. Hal ini terwujud pada kepercayaan mereka akan apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu ada bulan atau waktu yang dianggap buruk. Pantangan atau tabu untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah, perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut disebut larangan bulan. Larangan bulan jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Ramadhan. Pada bulan-bulan tersebut, dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu bertepatan dengan upacara menyepi. Selain itu perhitungan menentukan hari baik didasarkan kepada hari-hari naas yang ada dalam setiap bulannya, seperti yang tercantum dibawah ini :
BULAN
Muharam
Sapar
Maulud
Silih Mulud
Jumalid Awal
Jumalid Akhir
Rajab
Rewah
Puasa/Ramadhan
Syawal
Hapit
Rayagung
HARI
Sabtu-Minggu
Sabtu-Minggu
Sabtu-Minggu
Senin-Selasa
Senin-Selasa
Senin-Selasa
Rabu-Kamis
Rabu-Kamis
Rabu-Kamis
Jum'at
Jum'at
Jum'at
TANGGAL
11,14
1,20
1,15
10,14
10,20
10,14
12,13
19,20
9,11
10,11
2,12
6,20

Pada hari-hari dan tanggal-tanggal tersebut, dilarang atau tabu untuk menyelenggarakan pesta atau upacara-upacara perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh dilaksanakan bertepatan dengan hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi. Selain perhitungan untuk menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan, seperti upacara perkawinan, khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain, perhitungannya juga didasarkan kepada hari-hari sial atau nahas yang terdapat pada setiap bulannya.
Religi dan Sistem Kepercayaan
             Penduduk Kampung Naga semuanya beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, namun syariat Islam yang mereka jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat Kampung Naga, dalam menjalankan agamanya harus seperti patuh terhadap warisan nenek moyang. Pengajaran mengaji bagi anak-anak dikampung Naga dilaksanakan pada malam senin dan malam kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan pada malam jumat. Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga sama dengan Lebaran dan Idul Adha.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sebagai sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga, berarti sama saja melanggar adat dan tidak menghormati karuhun. Sehingga hal ini dipercaya pasti akan menimbulkan malapetaka.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada makhluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam "leuwi". Kemudian "ririwa" yaitu mahluk halus yang senang menganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi Ageng dan Masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.
Sistem kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget. Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan "sasajen" (sesaji).
 


Sistem Kekerabatan Kampung Naga

A. Pengertian  dan Penjelasan Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Dalam antropologi, sistem kekerabatan termasuk keturunan dan pernikahan, sementara dalam biologi istilah ini termasuk keturunan dan perkawinan. Hubungan kekerabatan manusia melalui pernikahan umum disebut sebagai "hubungan dekat" ketimbang "keturunan" (juga disebut "konsanguitas"), meskipun kedua hal itu bisa tumpang tindih dalam pernikahan di antara orang-orang yang satu moyang. Hubungan kekeluargaan sebagaimana genealogi budaya dapat ditarik kembali pada Tuhan (lihat mitologi, agama), hewan yang berada dalam daerah atau fenomena alam (seperti pada kisah penciptaan). 
Jadi hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah. Hubungan keluarga dapat dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek) atau secara abstrak menurut tingkatan kekerabatan. Sebuah hubungan dapat memiliki syarat relatif (mis., ayah adalah seseorang yang memiliki anak), atau mewakili secara absolut (mis, perbedaan status antara seorang ibu dengan wanita tanpa anak). Tingkatan kekerabatan tidak identik dengan pewarisan maupun suksesi legal. Banyak kode etik yang menganggap bahwa ikatan kekerabatan menciptakan kewajiban di antara orang-orang terkait yang lebih kuat daripada di antara orang asing, seperti bakti anak.
B. Sistem kekerabatan di Suku Sunda
Keanekeragaman sistem kekerabatan yang di pakai di Indonesia sangatlah beragam. Salah satunya di suku Sunda. Sistem kekerabatan suku Sunda adalah Bilateral. Garis keturunan diperhitungkan menurut ayah dan ibu. Dalam masyarakat Sunda tidak membedakan kerabat pihak laki-laki (Ayah) dengan pihak perempuan (Ibu) dalam antropologi. Sistem ini disebut Kendred.
Pengertian keluarga dalam masyarakat sunda sangat luas, selama ada ikatan perkawinan (Afinity) dan pertalian ikatann darah (consanguinity) baik dari pihak ayah maupun ibu di sebut dulur urang atau wargi atau keluarga.
Dalam masyarakat sunda dikenal istilah sabondoroyot, artinya 7 turunan atau generasi. Istilah untuk menyebut keturunan dari atas ke bawah tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Kolot
2)      Embah
3)      Buyut
4)      Bao
5)      Janggawareng
6)      Udeg-udeg
7)      Gantungsiwur

sedangkan dari bawah ke atas adalah sebagai berikut :
1)      Anak
2)      Incu
3)      Buyut
4)      Bao
5)      Janggawareng
6)      Udeg-udeg
7)      Gantungsiwur
Masyarakat Sunda mempunyai kebebasan untuk memilih jodohnya, namun terdapat larangan menikah dengan sesama keluarga batih, selain itu dianjurkan untuk tidak menikah dengan saudara dekat, agar persaudaraan makin luas dan kalau ada penyakit tidak ditunkan. Pepatah sunda mengatakan “lamun nyiar jodo kudu sawaja sabeusi” artinya dalam mencari jodo harus sesuai dan cocok.
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur atau garis keturunan.

C. Sistem kekerabatan di Kampung Naga
Dahulu, di Kampung Naga terdapat berbagai macam aturan dalam hal kekerabatan. Misalnya, pernikahan. Dahulu masyarakat Kampung Naga tidak memperbolehkan warganya untuk menikah dengan orang-orang dari luar Kampung Naga. Hal ini dimaksudkan agar kemurnian tradisi Kampung Naga tetap terjaga. Setelah kelompok kami melakukan sedikit tanya jawab dengan warga Kampung Naga, mereka berkata bahwa saat ini pernikahan sifatnya sudah lebih fleksibel. Fleksibel disini yang dimaksudkan adalah warga Kampung Naga boleh menikahi orang-orang di luar Kampung Naga, dan sekarang ini warga sudah boleh menentukan apakah setelah menikah akan tetap tinggal di Kampung Naga, atau pergi keluar dari Kampung Naga. Ini terbukti dari adanya beberapa keluarga yang istrinya berasal dari luar Kampung Naga. Dan konon ada juga beberapa warga Kampung Naga yang pergi keluar setelah menikah. Salah satu budaya atau larangan yang berkaitan erat dengan keturunan adalah pernikahan, dimana setiap warga Kampung Naga yang sudah cukup umur untuk menikah tidak boleh menikah dengan orang dari daerah lain. Mengapa begitu? Karena menurut kebudayaan Kampung Naga hal itu bisa menimbulkan adanya kesenjangan sosial dan bisa membuka celah-celah era globalisasi yang dapat merusak kepribadian atau adat-adat yang masih ada di Kampung Naga, yang masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi. Dalam sistem kekerabatan di masyarakat, mengambil garis keturunan ayah dan ibu.
Keluarga inti pada mayarakat Kampung Naga terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Beberapa anak yang sudah menikah ada juga yang masih tinggal bersama orang tua mereka karena mereka ini belum siap untuk pindah atau belum memiliki rumah sendiri. Setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat, secara biologis menyebut kerabat kepada orang yang mempunyai hubungan darah, baik melalui ayah maupun ibu.
Masyarakat Kampung Naga yang diperluas lagi dengan warganya yang tinggal di luar wilayah Kampung Naga, masih terikat oleh adat Sa Nega. Mereka dengan kerabatnya yang secara biologis masih terikat pada adat Kampung Naga selalu melakukan kegiatan bersama dan ketentuan tersebut dipatuhi oleh seluruh warga Sa Naga. Pada hakekatnya, berbagai kegiatan dan upacara yang dilakukan mampu menyatukan mereka dalam satu ikatan kekeluargaan dan satu keturunan.
Disamping perkawinan, yang berkaitan dengan sistem kekerabatan Kampung Naga adalah sistem pembagian harta atau warisan. Berbicara masalah pembagian hak waris, terdapat dua kebiasaan. Sebagian masyarakat berpatokan pada hukum atau syariat agama islam, yaitu hak waris untuk laki-laki dan perempuan adalah dua berbanding satu. Akan tetapi sebagaian warga lainnya yang teguh mempertahankan adat peninggalan leluhurnya membagi warisan berdasarkan hukum adat yang tidak membedakan hak antara laki-laki dan perempuan.
Tokoh masyarakat dalam rangka membimbing warga masyarakatnya sangat luwes dan rajin menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat yang dianut oleh masyarakat adat kampung naga tersebut. Sehingga tergeraklah hati nuraninya warga Kampung Naga untuk mengikuti aturan-aturan yang ada di kampung naga sehingga menimbulkan peningkatkan kepercayaan dari masyarakat adat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pengetahuan
Tokoh masyarakat dalam membina warganya agar dapat mengikuti ketentuan hukum adat kampung naga, dengan jalan:
  1. Memberikan contoh yang baik kepada masyarakat tentang pelaksanaan adat nenek moyang yang dimiliki kampung naga.
  2. Memberikan penjelasan kepada masyarakat adat kampung naga bagaimana cara melaksanakan ketentuan adat yang berlaku di kampung naga.
  3. Menginformasikan kepada warga masyarakat adat kampung naga bila tidak melaksanakan ketentuan adat yang berlaku.
 b.      Pemahaman

Tokoh masyarakat kampung naga berusaha menyampaikan persepsi tentang adat-adat yang ada dan aturan yang berlaku di kampung naga, sehingga pemahaman warga masyarakat terhadap adat yang dianutnya seragam dan kuat.
Pemahaman masyarakat adat kampung Naga dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari mereka masih tetap melaksanakan adat leluhurnya secara taat dan patuh, misalnya: Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya. Bentuk rumah dan letak rumah yang ada di kampung Naga semuanya sama.
Di samping itu dalam pelaksanaan upacara adat semua warga dapat mengikuti dengan hidmat, baik upacara menyepi/hari tabu, hajat sasih maupun upacara perkawinan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Ketua Adat.

 c.       Ketaatan

Ketaatan warga kampung Naga terhadap hukum adat sangat kuat, hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan kehidupan sehari-hari seperti tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya, pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Ketaatan warga ini diawali oleh Tokoh masyarakat dalam membina warganya dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari, dan memberikan sanksi kepada warga masyarakat secara bertahap. Adapun sanksi yang ada pada masyarakat kampung naga adalah ada dua, antara lain :
  1. Sanksi tertulis
Bila seseorang atau warga masyarakatnya yang melanggar salah satu adat (yang dilarang) yang ada di kampung naga misalnya: upacara menyepi/hari tabu, upacara perkawinan,upacara hajat sasih, maka tindakan yang dilakukan oleh Ketua Adat, pertama dengan cara menegurnya, kedua dengan cara memberikan surat yang isinya menyuruh keluar/pindah dari kampung naga untuk selama-lamanya dan sampai kapan pun tidak bisa mengikuti upacara adat kampung  naga.
  1. Sanksi tak tertulis
Ada beberapa sanksi yang tak tertulis yang berlaku di kampung naga antara lain:
  1. Amanat. Amanat artinya pesan yang disampaikan dari leluhurnya/nenek moyangnya kepada seseorang yang dipercaya. Ajaran-ajarannya agar dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku di adat kampung naga.
  2. Wasiat. Wasiat artinya pesan yang diberikan dari leluhurnya kepada seseorang yang dipercaya baik berupa barang atau mantra-mantra agar dilestarikan.
  3. Akibat. Akibat artinya sesuatu yang terjadi yang disebabkan oleh suatu kejadian atau masalah imbalan dari suatu perbuatan yang dilarang.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat dan selalu dilaksanakan dalam pergaulan kehidupannya. Mengingat pentingya hukum adat tersebut bagi kehidupan masyarakat, maka aturan hukum tersebut selalu dipertahankan dan dijunjung tinggi serta dilaksanakan secara turun temurun dari generasi ke genarasi seperti pada masyarakat adat kampung  naga.
Peran serta tokoh-tokoh masyarakat Kampung Naga seperti telah dijelaskan di atas tidak dilakukan secara insidental atau temporer, tetapi benar-benar dilakukan secara kontinyu dan khusus, sehingga pembinaan kesadaran hukum terarah dan berencana.
Tokoh masyarakat kampung naga memiliki hubungan sosial lebih luas daripada masyarakatnya, hal ini dapat dilihat dari pengetahuan, pemahaman dan ketaatan tokoh masyarakat adat terhadap hukum adat yang berlaku di kampung naga, mereka diyakini oleh masyarakat setempat tokoh masyarakat khususnya Pemimpin adat adalah seseorang yang biasa disebut kuncen,sebagai orang yang dituakan, perkataan kuncen sangat didengar dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung adat. Kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan memberi petunjuk-petunjuk khusus dalam kehidupan adat istiadat Kampung Naga.
Peranan kuncen sebagai pemimpin informal di Kampung Naga terlihat konkrit ketika memberi nasihat, saran, dan pendapat serta bagaimana ia mengendalikan perilaku masyarakat Kampung Naga. Kepatuhan warga kepada kuncen karena ia dipandang sebagai pengemban amanat leluhur, hingga apa yang diucapkannya akan dipatuhi termasuk larangan untuk tidak membicarakan sejarah, asal usul Kampung Naga  dan tradisi pada hari-hari tertentu. 

D. Silsilah atau Keturunan di Kampung Naga
Di kampung naga, salah satu budaya atau larangan yang berkaitan erat dengan keturunan adalah pernikahan, dimana setiap warga Kampung Naga yang sudah cukup umur untuk menikah tidak boleh menikah dengan orang dari daerah lain. Mengapa begitu? Karena menurut kebudayaan Kampung Naga hal itu bisa menimbulkan adanya kesenjangan sosial dan bisa membuka celah-celah era globalisasi yang dapat merusak kepribadian atau adat-adat yang masih ada di Kampung Naga, yang masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi. Dalam sistem kekerabatan di masyarakat, mengambil garis keturunan ayah (Patrilineal).
 

Note :
Sumber atau data yang saya peroleh berasal dari hasil study tour saya dkk. bersama sekolah kami (SMAN 1 Bekasi) ke kampung naga pada tahun 2009.




Sistem Perekonomian Kampung Naga
Sebelumnya, saya telah membahas tentang dimensi sosial ekonomi serta interaksi sosial yang ada pada masyarakat Kampung Naga. Selanjutnya, saya akan mencoba menganalisis tentang sistem perekonomian terdapat di dalam Kampung Naga.
Pengertian Sistem Ekonomi
Menurut Dumairy (1996), Sistem Ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa suatu sistem ekonomi tidaklah harus berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan falsafah, pandangan dan pola hidup masyarakat dimana ia berpijak. Sistem Ekonomi sesungguhnya merupakan salah satu unsur saja dalam suatu supra sistem kehidupan masyarakat. Sehingga sistem ekonomi merupakan bagian dari kesatuan ideologi masyarakat di suatu negara.
Sistem Perekonomian Kampung Naga
Dari beberapa sistem ekonomi yang ada di dunia, Kampung Naga termasuk daerah yang menganut sistem ekonomi tradisional. Hal itu dapat kita lihat dari ciri-ciri sebagai berikut.
a.       Teknologi yang digunakan masih sangat sederhana
b.      Tidak terdapat pembagian kerja, jikapun ada masih sangat sederhana
c.       Kegiatan ekonomi sepenuhnya diserahkan dan dilaksanakan oleh swasta/masyarakat
d.      Keikutsertaan pemerintah dalam bidang ekonomi dilakukan tidak secara langsung
e.       Kebebasan masyarakat untuk berinovasi dan berimprovisasi diakui dan dihormati
Sektor-sektor Perekonomian Kampung Naga
Pada dasarnya, perekonomian Kampung Naga ditunjang oleh lima sektor, yaitu pertanian, peternakan, kerajinan tangan, penerjemah, dan pariwisata. Berikut ini akan dibahas mengenai sektor-sektor utama dalam perekonomian Kampung Naga.
1.      Pertanian
Pertanian adalah sektor utama perekonomian di Kampung Naga. Berikut ini adalah beberapa rincian kegiatan pertanian di Kampung Naga.
·         Sebagian hasil padi disimpan untuk makanan sehari-hari penduduk, dan selebihnya dijual.
·         Sawah digarap sendiri.
·         Harga padi Rp 300,-/kg, Rp 300.000,-/kwintal (data pada tahun 2009).
·         Sawah dimiliki secara turun-temurun.
·         Padi adalah tanaman utama yang ada didalam persawahan. Namun selain padi, penduduk Kampung Naga juga menanam jagung, talas, dan ubi.
·         Penduduk Kampung Naga biasanya berangkat ke sawah pada pagi atau siang hari.
·         Pendapatan dari sektor pertanian ini tidak tetap, terkadang naik terkadang turun.
·         Bibit dibeli dalam jumlah besar dan disimpan untuk ditanam pada masa tanam berikutnya, sedangkan pupuk dibuat sendiri dari kotoran hewan.
·         Sejauh ini, penduduk Kampung Naga belum pernah mengalami gagal panen.
2.   Peternakan
Selanjutnya, peternakan merupakan salah satu kegiatan yang ada di Kampung Naga. Meski demikian, peternakan bukan merupakan sektor utama perekonomian Kampung Naga.
·         Hewan yang diternakkan adalah kambing dan ayam.
·         Seperti halnya dalam sektor pertanian, sebagian hasil ternak dijual dan sebagian lagi untuk dimakan.
·         Makanan untuk ternak dapat mereka hasilkan sendiri, yaitu rumput untuk kambing dan beras serta jagung untuk ayam.


3.   Kerajinan
Salah satu kegiatan ekonomi yang ada di Kampung Naga ialah kerajinan. Selain menjadi kegiatan ekonomi, kerajinan juga merupakan khas dari masyarakat Kampung Naga.
·         Sebagian kerajinan dibuat di Kampung Naga, sebagian lain di luar.
·         Kerajinan yang dibuat di Kampung Naga terbuat dari lidi dan bambu, biasanya berupa anyaman.
·         Pendapatan yang dihasilkan dari sektor kerajinan ini berbeda-beda.
·         Sebagian uang hasil pendapatan tersebut disimpan di bank, dan sisanya disimpan sendiri.
·         Kerajinan-kerajinan ini telah dikembangkan sejak zaman dulu.
·         Biasanya kerajinan-kerajinan tersebut dibuat di rumah.
·         Harga kerajinan berkisar dari Rp 2.000,- hingga Rp 200.000,- (data pada tahun 2009).
·         Jenis barang kerajinan tersebut adalah tas, pensil, pajangan, hiasan, dll.
4. Penerjemah
Meski mayoritas penduduk Kampung Naga adalah petani dan peternak, tetapi mereka juga tetap berpendidikan (sekolah). Ada penduduk Kampung Naga yang sekolah di luar daerah, bahkan melanjutkan sekolahnya sampai ke luar negeri. Sepulang dari luar negeri, biasanya mereka kembali ke Kampung Naga untuk mengabdi di sana sebagai penerjemah bagi turis yang datang. Saat ini ada empat belas orang penerjemah (data pada tahun 2009) yang bertugas memandu wisatawan asing yang ingin mengenal seluk-beluk dari Kampung Naga.
5. Pariwisata
Bisa dibilang, pariwisata adalah sektor yang secara tidak langsung menjadi andalan perekonomian Kampung Naga selain sektor pertanian. Dahulu, wisatawan yang datang ke Kampung Naga tidak dipungut biaya ketika datang menginap, namun sekarang Kampung Naga telah memasang tarif. Oleh karena itu, sebagai objek wisata dengan alam dan penduduknya, pariwisata pun menjadi salah satu bidang penghasil uang bagi penduduk Kampung Naga.
 Note :
Sumber atau data yang saya peroleh berasal dari hasil study tour saya dkk. bersama sekolah kami (SMAN1 Bekasi) ke kampung naga pada tahun 2009. 

Interaksi Sosial Masyarakat Kampung Naga

                 Perkembangan zaman yang cenderung cepat membawa pengaruh yang luas bagi kehidupan masyarakat. Pergeseran nilai-nilai budaya terjadi di hampir seluruh kawasan, termasuk kawasan Asia, dan terlebih Indonesia. Banyak masyarakat di negeri ini telah meninggalkan warisan budaya nenek moyang, terutama generasi muda yang cenderung lebih condong kepada budaya Barat, dan melupakan nilai-nilai budaya sendiri. Teknologi komunikasi telah menyebabkan arus informasi menjadi kian cepat, dan ini mempercepat perubahan-perubahan dalam masyarakat.
                   Kendati demikian, kemudahan-kemudahan berkomunikasi yang tercipta pada masa sekarang tidak jarang membawa dampak negatif, seperti apabila dalam istilah anak-anak muda disebut sebagai korban mode, yaitu cara berpakaian seseorang yang sebenarnya tidak pantas dikenakan oleh orang tersebut hanya karena ingin mengikuti trend tanpa melihat lingkungan sekitar dan pantas atau tidak seseorang tersebut mengenakannya. Hal demikian terjadi dikarenakan masyarakat belum siap sepenuhnya menerima keadaan yang sangat cepat berubah. Karena ketidakpastian tersebut maka segala bentuk informasi dapat menembus filter.
                   Kecenderungan demikian menarik sekali menyimak kenyataan bahwa di beberapa daerah tertentu di Indonesia terdapat masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat yang telah dianut sejak masa nenek moyang hingga kini, salah satu diantaranya adalah masyarakat Kampung Naga yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
                    Secara geografis Kampung Naga memiliki wilayah yang tidak terisolir. Letaknya hanya sekitar 500 m dari jalan raya yang menghubungkan kota Tasikmalaya dan Garut. Kampung Naga mempunyai luas keseluruhan kurang lebih 4 ha dan secara administratif adalah bagian dari desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

                    Berada di tengah masyarakat global, masyarakat Kampung Naga pun tetap tidak melupakan dunia luar dan dapat bersikap kooperatif dengan masyarakat umum maupun pemerintah. Mereka dapat menerima kemajuan-kemajuan teknologi asalkan tidak bertentangan dengan hukum adat yang dipegang. Adat yang dipegang teguh banyak mengajarkan kepada kesederhanaan, pelestarian lingkungan dan sifat gotong royong yang masih cukup kental. Ini semua hal-hal yang mulai terkikis ditengah masyarakat umum pada masa sekarang ini. Hal demikian memberikan inspirasi untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang ada sehingga dapat mempertahankan warisan budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Berikut hasil pengamatan tentang pola interaksi sosial masyarakat Kampung Naga serta wawancara dari beberapa narasumber :

·         Pola Hubungan Antar Sesama Warga

1.   Mereka mengenal satu sama lain di Kampung Naga, sehingga timbul perasaan saling menyayangi. Menurut Bu Heni, salah seorang warga, “Di Kampung Naga warga hidup rukun dan saling menghargai. Hal ini terbukti  karena tidak pernah terjadi konflik antarwarga.” Setiap sore hari ibu-ibu biasa berkumpul bersama untuk berbincang-bincang sambil menunggu suami mereka pulang dari ladang sedangkan anak-anak bermain bersama setelah pulang sekolah. Memang terlihat sepele tetapi kegiatan ini memupuk keakraban antar warga. Sedangkan untuk komunikasi yang membutuhkan penyebaran cepat misalnya untuk pemberitahuan gempa, bahaya, warga meninggal, ingin mengumpulkan massa ataupun memberitahukan waktu-waktu penting (waktu subuh, magrib dan isya), digunakan kentongan besar yang ada di depan masjid agar terdengar oleh semua warga.

2. Mereka berkewajiban membantu jika ada yang kesulitan. Prinsip gotong royong juga mereka anut sebagai pegangan hidup masyarakat karena mereka beranggapan bahwa sikap gotong royong merupakan hal paling penting dan utama yang harus terus dijaga dalam berkehidupan. Tidak satu pekerjaan dapat diselesaikan secara individu kecuali dengan bantuan orang lain. Sebagai contoh, dalam acara perkawinan, pembangunan rumah tinggal, perbaikan saluran air, sunatan, ataupun hajat-hajat yang dilaksanakan oleh seseorang. Secara sukarela dan tanpa paksaan masyarakat lain akan turut serta membantu orang yang mempunyai hajat sehingga dapat meringankan beban dari orang tersebut. Tak hanya dalam hal yang menyangkut kesenangan, dalam duka pun mereka tetap membantu. “Bila ada warga yang sakit secara spontan warga akan memberikan pertolongan,” tutur Pak Ajat, seorang warga Kampung Naga.

3.      Mereka berkumpul bersama dalam acara rohani ataupun upacara-upacara adat rutin. Untuk ibu-ibu diadakan pengajian rutin setiap hari Jumat sekaligus arisan. Berdasarkan keterangan yang kami dapat dari Pak Risman selaku ketua RT, upacara adat yang rutin diselenggarakan ada enam kali, yaitu pada hari raya Muharam, Maulid, Jumadil, Ibnu Syaban, Syawal dan Dul Hijah. Upacara ini dilaksanakan semua warga Kampung Naga.

4.      Mereka juga mengikuti perkembangan zaman dan menggunakan media massa seperti televisi dan radio. Walaupun hanya beberapa yang memiliki tetapi mereka menggunakannya bersama. Selain mendapat hiburan, hal ini juga menambah kekompakkan warga karena terjadinya interaksi sosial secara langsung. Biasanya mereka harus men-charge aki atau dinamonya terlebih dahulu karena Kampung Naga tidak menggunakan listrik. Bahkan ada diantara mereka yang pergi ke Kampung Naga luar hanya untuk menonton televisi. Tak hanya itu, untuk memiliki wawasan lebih mereka juga menyekolahkan anak-anak mereka pada sekolah umum yang letaknya di luar Kampung Naga. Memang Kampung Naga sekilas tampak tradisional tapi jangan salah, sekitar dua belas pemuda Kampung Naga mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Jepang dan salah satunya adalah Pak Ucup yang telah kembali. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak buta informasi dan dapat menyimak perkembangan-perkembangan masyarakat lain meski tak memiliki teknologi canggih seperti internet ataupun Handphone.

5.      Bahasa yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari sama yaitu bahasa Sunda, baik itu bahasa Sunda asli. Bahasa ini menjadi simbol pemersatu mereka tetapi mereka tetap tidak melupakan bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia, walaupun terlihat agak kaku dalam pengucapannya. Terkadang ada beberapa warga yang harus menggunakan bahasa asing (Inggris) untuk berinteraksi dengan wisatawan asing yang mengunjungi Kampung Naga.

·         Pola Hubungan Sesepuh atau Pemimpin Dengan Masyarakat

1.      Masyarakat sangat menghormati sesepuh atau pemimpin mereka. Sebagai contoh, mereka tidak mau menceritakan asal-usul Kampung Naga bila ada pengunjung yang bertanya. Hal itu dikarenakan mereka sangat menghormati wewenang Kuncen selaku pimpinan tertinggi dalam lembaga adat (informal). Struktur kelembagaan di Kampung Naga ada dua, yaitu formal dan informal. Pada lembaga formal terdapat Kadus (Pak Suharyo), RK (Pak Okin), dan RT (Pak Risman) sedangkan pada lembaga informal terdapat Kuncen (Pak Ade Suherlin), Punduh (Pak Ma’un), dan Lebe (Pak Atang Jaelani)

2.      Sesepuh atau pimpinan bersikap demokratis dan menghargai pendapat warga. Seperti pada pergantian ketua RT dilakukan semacam pemilihan oleh warga. Namun pada lembaga informal pergantian pengurus dilakukan secara turun-temurun karena sudah menjadi adat. Adapun warga Kampung Naga telah mengenal dan mengikuti pemilu.

3.      Sesepuh atau pimpinan dapat mengayomi warga. Mereka selalu memberi arahan kepada warga untuk hidup sesuai dengan adat dan agama. Terbukti hingga sekarang belum pernah ada warga yang melanggar adat. Bila ada hal yang perlu di sosialisasikan atau di musyawarahkan, warga dan para sesepuh atau pimpinan berkumpul bersama di balai kampung, yang dikenal dengan Bale Patamon. Seperti pada Pemilu 2009 sejumlah warga mengaku, mereka mengenal nama SBY, Mega, dan Prabowo dari sosialisasi Pemilu di Balai Kampung. Karena semua warga Kampung Naga beragama muslim, ceramah agama pun sering dilakukan setelah sholat di mesjid.

4.      Sesepuh dan warga bersama-sama menjaga kelestarian lingkungan dan adat. Mereka tidak pernah sekali pun menyentuh hutan larangan apalagi merusak karena mereka meyakini hutan merupakan penyeimbang kehidupan. Memainkan alat musik selain angklung, terebang dan beluk di dalam Kampung Naga juga merupakan suatu larangan. Mereka boleh mempelajari dan memainkan alat musik lain di luar Kampung Naga namun tidak boleh membawa bahkan memainkannya di dalam Kampung Naga. Hal ini dilakukan agar budaya asli masyarakat yang telah bertumbuh kembang tidak pudar.

·         Pola Hubungan Dalam Keluarga

1.      Antara suami dengan istri terjalin hubungan yang rukun. Mereka selalu makan bersama dan mengerjakan tugas masing-masing sesuai peranan. Biasanya pasangan baru harus pindah ke Kampung Naga luar karena keterbatasan lahan pada Kampung Naga dalam.

2.      Antara orangtua dengan anak-anak terjalin hubungan baik. Di setiap waktu senggang mereka berkumpul bersama sambil berbincang-bincang atau menonton televisi. Banyak pemuda yang membantu pekerjaan ayah atau ibu mereka contohnya seperti setelah pulang sekolah, ikut membantu di ladang, membantu menjaga toko, atau membantu pekerjaan di rumah. Di Kampung Naga luar retribusi parkir juga menjadi lahan pekerjaan pra pemuda Kampung Naga.

3.      Pembagian warisan dalam keluarga diatur dalam hukum adat. Bila dalam suatu keluarga terdapat dua anak  laki-laki dan dua anak perempuan, maka warisan dibagi rata. Tetapi jika laki-laki dan perempuan tidak sama, maka warisan dominan dilimpahkan kepada anak laki-laki. 

Kesimpulan
Di tengah era globalisasi, Kampung Naga tampil sebagai kampung yang tetap dapat mempertahankan  adat istiadat dan budaya asli Bangsa Indonesia. Pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang ada terbukti dapat mempertahankan warisan budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Pola-pola komunikasi tersebut tercipta dari hubungan antar sesama warga, antara sesepuh atau pimpinan dengan warga dan antar anggota keluarga Kampung Naga.

Note :
Sumber atau data yang saya peroleh berasal dari hasil study tour saya dkk. bersama sekolah kami (SMAN 1 Bekasi) ke kampung naga pada tahun 2009.


 


Dimensi Sosial Ekonomi Masyarakat Kampung Naga

Di era perekonomian Indonesia yang tengah didominasi oleh pihak swasta dan kaum bermodal serta di tuntutnya masyarakat untuk lebih bergerak aktif lagi dalam berpartisipasi pada perekonomian Negara, Pemerintah, pada dasarnya, melakukan hal tersebut dalam rangka mendorong masyarakat untuk meninggalkan era Masyarakat yang tradisional ke era Masyarakat Industri. Ini ditujukan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya yang ada pada masyarakat. Hal seperti ini menarik sekali, menyimak kenyataan bahwa ada beberapa tempat yang dimana sistem perekonomian masyarakatnya tidak terjamah oleh dominasi-dominasi kaum bermodal dan masih sangat mencerminkan masyarakat tahap pra-modern, salah satunya adalah masyarakat Kampung Naga yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung Naga mempunyai luas keseluruhan kurang lebih 4 ha dan secara administratif adalah bagian dari desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Berada di tengah masyarakat global saat ini, masyarakat Kampung Naga yang masih memegang teguh adat istiadat yang telah dianut sejak masa nenek moyang hingga kini, tidaklah melupakan dunia luar dan mereka pun dapat bersikap kooperatif baik terhadap masyarakat umum maupun pemerintah. Demikian sistem perekonomian mereka yang masih bersifat sistem ekonomi tradisional, dengan keluarga sebagai unit produksi. Mayoritas masyarakat Kampung Naga bermata pencaharian sebagai peternak, pengrajin, penerjemah (bahasa sehari-hari atau sunda asli bagi para turis), petani dan juga Kampung Naga itu dijadikan sebagai tempat pariwisata (secara tidak langsung). Tetapi sektor utama perekonomian di Kampung Naga adalah pertanian. Seperti sistem ekonomi mereka yang masih tradisional, disini tidak terdapat pemisah yang tegas antara rumah tangga produksi dengan rumah tangga konsumsi sehingga masih bisa dianggap dalam satu kesatuan, selain itu teknologi yang digunakan juga masih sangat sederhana.
Dari perspektif Sosiologi Ekonomi, bisa dikatakan bahwa masyarakat Kampung Naga memiliki tindakan ekonomi “House Holding”, dimana kegiatan ekonominya berorientasi pada self sufficiency atau kecukupan untuk bertahan hidup. Secara umumnya masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat yang berlandaskan “Solidaritas Mekanik” yang ditandai oleh adanya pembagian kerja yang rendah, kesadaran kolektif yang kuat, hukum represif yang dominan, individualitas rendah, pola normatif sebagai konsensus terpenting dalam komunitas, dan saling ketergantungan rendah, dimana tindakan ekonomi (produksi, konsumsi dan distribusi) dianggap sebagai bentuk tindakan dan interaksi sosial yang akan mempererat keeratan masyarakat Kampung Naga itu sendiri.
Sebenarnya yang membedakan masyarakat Kampung Naga dengan masyarakat lainnya dalam kegiatan produksi, konsumsi dan distribusi ialah bahwasanya masyarakat Kampung Naga melakukan hal tersebut dengan didasari oleh adat istiadat dan tradisi yang mereka anut selama ini. Meskipun begitu, mereka dapat menerima kemajuan-kemajuan teknologi asalkan tidak bertentangan dengan hukum adat yang dipegang. Adat yang dipegang teguh banyak mengajarkan kepada kesederhanaan, pelestarian lingkungan dan sifat gotong royong yang masih cukup kental.
Sebagai contoh, didalam lingkungan masyarakat Kampung Naga terdapat dua hutan yang di kategorikan sebagai hutan larangan, mereka tidak pernah sekali pun menyentuh maupun merusak hutan larangan karena mereka meyakini hutan merupakan penyeimbang kehidupan, sehingga mereka tidak berani untuk mengambil atau menebang kayu dan bambu dari hutan tersebut, sehingga dalam memproduksi kayu dan bambu yang digunakan untuk membuat rumah maupun kerajinan, mereka mengambil dari kebun mereka sendiri. Ini semua merupakan hal-hal yang mulai terkikis ditengah masyarakat umum pada masa sekarang yang lebih cenderung bersifat individualitas dan mengambil sumber daya alam tanpa memperhatikan dampaknya bagi lingkungan sekitar.



                                                                                                     
 Kampung Naga, Wisata Kampung Adat nan Eksotis

Tidak ada komentar:

Posting Komentar