Adat Istiadat Kampung Naga
Kampung
Naga merupakan kampung adat yang menjadi salah satu tempat wisata. Dan pastinya
ada beberapa hal yang unik di kampung wisata ini, salah satunya ialah keunikan
dalam adat istiadat mereka. Di antaranya seperti upacara-upacara adat yang
dilakukan, hal-hal yang ditabukan, tempat-tempat yang ditabukan, adat terhadap
waktu sampai religi dan sistem kepercayaan.
Upacara-Upacara Adat yang Dilakukan
Upacara-upacara
yang senantiasa dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga ialah :
1.
Menyepi
Upacara menyepi dilakukan oleh
masyarakat Kampung Naga pada hari selasa, rabu, dan hari sabtu. Upacara ini
menurut pandangan masyarakat Kampung Naga sangat penting dan wajib
dilaksanakan, tanpa kecuali baik laki-laki maupun perempuan. Pelaksanaan upacara
menyepi diserahkan pada masing-masing orang, karena pada dasarnya merupakan
usaha untuk menghindari pembicaraan tentang segala sesuatu yang berkaitan
dengan adat istiadat. Warga Kampung Naga sangat patuh terhadap aturan adat. Selain
karena penghormatan kepada leluhurnya, juga untuk menjaga amanat dan wasiat
yang bila dilanggar dikhawatirkan akan menimbulkan malapetaka.
2.
Hajat Sasih
persiapan upacara adat |
Upacara
Hajat Sasih dilaksanakan oleh seluruh warga adat Kampung Naga, baik yang
bertempat tinggal di Kampung Naga maupun di luar Kampung Naga. Maksud dan
tujuan dari upacara ini adalah untuk memohon berkah dan keselamatan kepada
leluhur Kampung Naga, Eyang Singaparna
serta menyatakan rasa syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala nikmat yang
telah diberikannya kepada warga sebagai umat-Nya.
Upacara
Hajat Sasih diselenggarakan pada bulan-bulan dengan tanggal-tanggal sebagai
berikut:
- Bulan Muharam (Muharram) pada tanggal 26, 27, 28
- Bulan Maulud (Rabiul Awal) pada tanggal 12, 13, 14
- Bulan Rewah (Sya'ban) pada tanggal 16, 17, 18
- Bulan Syawal (Syawal) pada tanggal 14, 15, 16
- Bulan Rayagung (Dzulkaidah) pada tanggal 10, 11, 12
Pemilihan tanggal dan bulan untuk pelaksanaan
upacara Hajat Sasih sengaja dilakukan bertepatan dengan hari-hari besar agama Islam. Penyesuaian waktu tersebut bertujuan agar
keduanya dapat dilaksanakan sekaligus, sehingga ketentuan adat dan akidah agama
Islam dapat dijalankan secara harmonis.
Upacara Hajat Sasih merupakan upacara ziarah dan
membersihkan makam. Sebelumnya para peserta upacara harus melaksanakan beberapa
tahap upacara. Mereka harus mandi dan membersihkan diri dari segala kotoran di sungai Ciwulan. Upacara ini disebut beberesih atau susuci.
Selesai mandi mereka berwudhu di tempat itu juga, kemudian mengenakan pakaian
khusus. Secara teratur mereka berjalan menuju masjid. Sebelum masuk mereka
mencuci kaki terlebih dahulu dan masuk kedalam sembari menganggukkan kepala dan
mengangkat kedua belah tangan. Hal itu dilakukan sebagai tanda penghormatan dan
merendahkan diri, karena masjid merupakan tempat beribadah dan suci. Kemudian
masing-masing mengambil sapu lidi yang telah tersedia di sana dan duduk sambil
memegang sapu lidi tersebut.
Adapun kuncen,
lebe, dan punduh atau tetua kampung, selesai mandi kemudian
berwudhu dan mengenakan pakaian upacara, mereka tidak menuju ke masjid
melainkan ke Bumi Ageng. Di
Bumi Ageng ini mereka menyiapkan lamareun dan parukuyan untuk nanti di bawa ke
makam. Setelah siap kemudian mereka keluar. Lebe membawa lamareun dan punduh
membawa parukuyan menuju makam. Para peserta yang berada di dalam masjid keluar
dan mengikuti kuncen, lebe, dan punduh satu persatu. Mereka berjalan beriringan
sambil masing-masing membawa sapu lidi. Ketika melewati pintu gerbang makam
yang di tandai oleh batu besar, masing-masing peserta menundukan kepala sebagai
penghormatan kepada makam Eyang Singaparna.
Setibanya di makam, selain kuncen tidak ada yang boleh
masuk ke dalam. Adapun Lebe dan Punduh setelah menyerahkan lamareun dan
parakuyan kepada kuncen, kemudian keluar lagi dan tinggal bersama para peserta
upacara yang lain. Kuncen membakar kemenyan untuk unjuk-unjuk (meminta izin )
kepada Eyang Singaparna. Ia melakukan unjuk-unjuk sambil menghadap kesebelah
barat, kearah makam. Arah barat artinya menunjuk ke arah kiblat. Setelah kuncen
melakukan unjuk-unjuk, kemudian ia mempersilahkan para peserta memulai
membersihkan makam keramat bersama-sama. Setelah membersihkan makam, kuncen dan
para peserta duduk bersila mengelilingi makam. Masing-masing berdoa dalam hati untuk memohon
keselamatan, kesejahteraan, dan kehendak masing-masing peserta. Setelah itu
kuncen mempersilakan Lebe untuk memimpin pembacaan ayat-ayat Suci Al-Quran dan
diakhri dengan doa bersama.
Selesai berdoa, para peserta secara bergiliran
bersalaman dengan kuncen. Mereka menghampiri kuncen dengan cara berjalan
merangkak. Setelah bersalaman, para peserta keluar dari makam, diikuti oleh
punduh, lebe dan kuncen. Parukuyan dan sapu lidi disimpan di "para"
masjid. Sebelum disimpan, sapu lidi tersebut dicuci oleh masing-masing peserta upacara
di sungai Ciwulan, sedangkan lemareun disimpan di Bumi Ageng.
Acara selanjutnya diadakan di masjid. Setelah para
peserta upacara masuk dan duduk di dalam masjid, kemudian datanglah seorang
wanita yang disebut patunggon sambil membawa air di dalam kendi. Kemudian ia memberikannya
kepada kuncen. Wanita lain datang membawa nasi tumpeng dan meletakannya
ditengah-tengah. Setelah wanita tersebut keluar, barulah kuncen berkumur-kumur
dengan air kendi dan membakar dengan kemenyan. Ia mengucapkan Ijab kabul sebagai
pembukaan. Selanjutnya lebe membacakan doanya setelah ia berkumur-kumur
terlebih dahulu dengan air yang sama dari kendi. Pembacaan doa diakhiri dengan
ucapan amin dan pembacaan surat Al-fatihah. Maka berakhirlah pesta upacara
Hajat Sasih tersebut. Usai upacara, dilanjutkan dengan makan nasi tumpeng
bersama-sama. Nasi tumpeng ini ada yang langsung dimakan di masjid, ada pula
yang dibawa pulang kerumah untuk dimakan bersama keluarga mereka.
3.
Perkawinan
Upacara
perkawinan bagi masyarakat Kampung Naga adalah upacara yang dilakukan setelah
selesainya akad nikah. Adapun tahap-tahap upacara tersebut antara lain ialah
upacara sawer, nincak endog (menginjak telur), buka pintu, ngariung (berkumpul), ngampar
(berhamparan), dan diakhiri dengan munjungan.
Upacara sawer
dilakukan selesai akad nikah, pasangan pengantin dibawa ketempat panyaweran,
tepat di muka pintu. Mereka dipayungi dan tukang sawer berdiri di hadapan kedua
pengantin. Panyawer mengucapkan ijab kabul,
dilanjutkan dengan melantunkan syair sawer. Ketika melantunkan syair sawer,
penyawer menyelinginya dengan menaburkan beras, irisan kunir, dan uang logam ke
arah pengantin. Anak-anak yang bergerombol di belakang pengantin saling berebut
memungut uang sawer. Isi syair sawer berupa nasihat kepada pasangan pengantin
baru.
Usai
upacara sawer, acara kemudian dilanjutkan dengan upacara nincak endog. Endog (telur) disimpan di atas golodog dan mempelai laki-laki
menginjaknya. Kemudian
mempelai perempuan mencuci kaki mempelai laki-laki dengan air kendi. Setelah
itu mempelai perempuan masuk ke dalam rumah, sedangkan mempelai laki-laki
berdiri di muka pintu untuk melaksanakan upacara buka pintu. Dalam upacara buka
pintu terjadi tanya jawab antara kedua mempelai yang diwakili oleh
masing-masing pendampingnya dengan cara dilagukan. Sebagai pembuka mempelai
laki-laki mengucapkan salam 'Assalammu'alaikum Wr. Wb.' yang kemudian dijawab
oleh mempelai perempuan 'Wassalamu'alaikum Wr. Wb.' setelah tanya jawab selesai
pintu pun dibuka dan selesailah upacara buka pintu.
Setelah upacara buka pintu dilaksanakan,
dilanjutkan dengan upacara ngampar, dan munjungan. Ketiga upacara terakhir ini
hanya ada di masyarakat Kampung Naga. Upacara riungan adalah upacara yang hanya
dihadiri oleh orang tua kedua mempelai, kerabat dekat, sesepuh, dan kuncen.
Adapun kedua mempelai duduk berhadapan, setelah semua peserta hadir, kasur yang
akan dipakai pengantin diletakan di depan kuncen. Kuncen mengucapakan kata-kata
pembukaan dilanjutkan dengan pembacaan doa sambil membakar kemenyan. Kasur
kemudian di angkat oleh beberapa orang tepat diatas asap kemenyan.
Usai acara tersebut dilanjutkan dengan acara
munjungan. Kedua mempelai bersujud sungkem kepada kedua orang tua mereka,
sesepuh, kerabat dekat, dan kuncen.
Akhirnya selesailah rangkaian upacara perkawinan
di atas. Sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada para undangan, tuan rumah
membagikan makanan kepada mereka (para tamu). Masing-masing mendapatkan boboko
(bakul) yang berisi nasi dengan lauk pauknya dan rigen yang berisi opak, wajit, ranginang, dan pisang.
Beberapa hari setelah perkawinan, kedua mempelai
wajib berkunjung kepada saudara-saudaranya, baik dari pihak laki-laki maupun dari
pihak perempuan. Maksudnya untuk menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan
mereka selama acara perkawinan yang telah lalu. Biasanya sambil berkunjung
kedua mempelai membawa nasi dengan lauk pauknya. Usai beramah tamah, ketika
kedua mempelai berpamitan akan pulang, maka pihak keluarga yang dikunjungi
memberikan hadiah seperti peralatan untuk keperluan rumah tangga mereka.
Hal-Hal
yang Ditabukan
Tabu, pantangan atau pamali bagi
masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh, khususnya dalam
kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya.
Pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka
junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap warga Kampung Naga. Misalnya tata cara
membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan
sebagainya.
Bentuk rumah masyarakat Kampung
Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari
daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau
papan kayu. Rumah harus menghadap kesebelah utara atau ke sebelah selatan
dengan memanjang kearah Barat-Timur. Dinding rumah dari bilik atau anyaman
bambu dengan anyaman sasag. Rumah tidak boleh dicat, kecuali dikapur atau dimeni.
Bahan rumah tidak boleh menggunakan tembok, walaupun mampu membuat rumah tembok
atau gedong.
Rumah tidak boleh dilengkapi
dengan perabotan, misalnya kursi, meja, dan tempat tidur. Rumah tidak boleh
mempunyai daun pintu di dua arah berlawanan. Karena menurut anggapan masyarakat
Kampung Naga, rizki yang masuk kedalam rumah melaui pintu depan tidak akan
keluar melalui pintu belakang. Untuk itu dalam memasang daun pintu, mereka
selalu menghindari memasang daun pintu yang sejajar dalam satu garis lurus.
bentuk rumah masyarakat Kampung Naga |
Di bidang kesenian masyarakat
Kampung Naga mempunyai pantangan atau tabu mengadakan pertunjukan jenis
kesenian dari luar Kampung Naga seperti wayang golek, dangdut, pencak silat,
dan kesenian yang lain yang mempergunakan waditra goong. Sedangkan kesenian
yang merupakan warisan leluhur masyarakat Kampung Naga adalah terbangan,
angklung, beluk, dan rengkong. Kesenian beluk kini sudah jarang dilakukan,
sedangkan kesenian rengkong sudah tidak dikenal lagi terutama oleh kalangan generasi
muda. Namun bagi masyarakat Kampung Naga yang hendak menonton kesenian wayang,
pencak silat, dan sebagainya diperbolehkan kesenian tersebut dipertunjukan di
luar wilayah Kampung Naga.
Adapun pantangan atau tabu yang
lainnya yaitu pada hari selasa, rabu, dan sabtu. Masyarakat kampung Naga
dilarang membicarakan soal adat-istiadat dan asal-usul kampung Naga. Masyarakat
Kampung Naga sangat menghormati Eyang Sembah Singaparna yang merupakan cikal
bakal masyarakat Kampung Naga. Sementara itu, di tasikmalaya ada sebuah tempat
yang bernama Singaparna, Masyarakat Kampung Naga menyebutnya nama tersebut
Galunggung, karena kata Singaparna (di Tasik) berdekatan dengan Singaparna nama
leluhur masyarakat Kampung Naga.
Warga
Kampung Naga tidak mengenal alat musik kecuali Angklung dan Sejak. Mereka juga tidak mengenal alat-alat musik
lain seperti gitar, biola, piano, drum, suling, pianika, dsb. Meskipun begitu,
mereka suka mendengar musik melalui radio. Musik kesukaan mereka adalah musik
dangdut.
Nenek moyang Kampung Naga yang paling berpengaruh
dan berperan bagi masyarakat Kampung Naga "Sa Naga" yaitu Eyang
Singaparana atau Sembah Dalem Singaparana yang disebut lagi dengan Eyang
Galunggung, dimakamkan di sebelah Barat Kampung Naga. Makam ini dianggap oleh
masyarakat Kampung Naga sebagai makam keramat yang selalu diziarahi pada saat
diadakan upacara adat bagi semua keturunannya.
Namun kapan Eyang Singaparana meninggal, tidak
diperoleh data yang pasti bahkan tidak seorang pun warga Kampung Naga yang
mengetahuinya. Menurut kepercayaan yang mereka warisi secara turun temurun,
nenek moyang masyarakat Kampung Naga tidak meninggal dunia melainkan raib tanpa
meninggalkan jasad. Dan di tempat itulah masyarakat Kampung Naga menganggapnya
sebagai makam, dengan memberikan tanda atau petunjuk kepada keturunan
Masyarakat Kampung Naga.
Ada sejumlah nama para leluhur masyarakat Kampung
Naga yang dihormati, seperti Pangeran Kudratullah, dimakamkan di Gadog
Kabupaten Garut, seorang yang dipandang sangat menguasai pengetahuan Agama
Islam. Raden Kagok Katalayah Nu Lencing Sang Seda Sakti, dimakamkan di Taraju,
Kabupaten Tasikmalaya, yang mengusai ilmu kekebalan "kewedukan". Ratu
Ineng Kudratullah atau disebut Eyang Mudik Batara Karang, dimakamkan di
Karangnunggal, Kabupaten Tasikmalaya, menguasai ilmu kekuatan fisik
"kabedasan". Pangeran Mangkubawang, dimakamkan di Mataram Yogyakarta
menguasai ilmu kepandaian yang bersifat kedunawian atau kekayaan. Sunan
Gunungjati Kalijaga, dimakamkan di Cirebon menguasai ilmu pengetahuan mengenai
bidang pertanian.
Tempat
yang ditabukan oleh masyarakat Kampung Naga yaitu
Selanjutnya,
ada beberapa tempat yang ditabukan oleh masyarakat Kampung Naga, antara lain :
hutan larangan seberangan Sungai Ciwulan
|
- Hutan Larangan : tempat ini ditabukan untuk dijaga kelestariannya. Disana juga terdapat makam para leluhur Kampung Naga yang sangat dihormati jasa-jasanya sewaktu beliau masih hidup. Di samping itu, para tamu atau wisatawan dari luar Kampung Naga tidak boleh masuk dan mengambil photo di dalamnya, karena itu sudah menjadi peraturan yang dibuat oleh para warga Kampung Naga. Hanya ”juru kunci” lah yang dapat masuk ketempat itu dengan melakukan ritual khusus dengan berpakaian baju putih.
- Hutan Lindung : kurang lebih sama seperti Hutan Larangan, Hutan ini di jaga kelestariannya. Para turis asing dan lokal juga tidak boleh memasuki area hutan lindung, karena berfungsi untuk menjaga kelestarian sumber daya alam dan sebagai sumber mata air bagi kehidupan warga Kampung Naga. Dan warga setempat pun tidak di perbolehkan untuk menebang pohon secara liar, karena dapat mengganggu keseimbangan ekosistem alam.
- Bumi Ageng : merupakan tempat nenek moyang masyarakat Kampung Naga. Pada tahun 1956, tempat ini dibakar oleh DI/II. Kemudian tempat ini dibangun kembali. Sekarang tempat itu adalah duplikatnya dan sekarang ditempati oleh seorang warga perempuan berumur 74 tahun (data tahun 2009). Selain itu, penduduk pun dilarang untuk mendekati dan masuk ke rumah tersebut, terkecuali untuk para kuncen, dimana enam tahun sekali mengunjungi tempat tersebut. Fungsi dari Bumi Ageng adalah sebagai tempat untuk pembuatan makanan yang ditujukan apabila pak kuncen mau pergi mengunjungi makam yang ada di hutan larangan. Hal ini merupakan syarat utama dalam acara ritual yang dilakukan pak kuncen di makam tersebut. Para tamu juga tidak diperkenankan untuk mengambil photo dari jarak dekat, mereka harus mengambil gambarnya dari jarak kurang lebih lima belas meter (15 m).
- Sungai Ciwulan : untuk para turis lokal maupun asing tidak diperkenankan untuk masuk ke dalam sungai tersebut, karena mereka tidak tahu seluk- beluk tempat mana saja yang dalam atau dangkal. Di tambah terdapat palung di dasar sungai tersebut. Jadi untuk mengantisipasi terjadi hal-hal yang tidak di inginkan seperti terbawa arus atau tenggelam, mereka tidak boleh mendekati area perairan sungai.
Adat
terhadap Waktu
Di
samping memiliki tempat yang ditabukan, masyarakat Kampung Naga juga memiliki
adat yang khas, yaitu kepercayaan terhadap waktu. Hal ini terwujud pada
kepercayaan mereka akan apa yang disebut palintangan. Pada saat-saat tertentu
ada bulan atau waktu yang dianggap buruk. Pantangan atau tabu untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang amat penting seperti membangun rumah,
perkawinan, hitanan, dan upacara adat. Waktu yang dianggap tabu tersebut
disebut larangan bulan. Larangan bulan jatuhnya pada bulan sapar dan bulan Ramadhan.
Pada bulan-bulan tersebut, dilarang atau tabu mengadakan upacara karena hal itu
bertepatan dengan upacara menyepi. Selain itu perhitungan menentukan hari baik
didasarkan kepada hari-hari naas yang ada dalam setiap bulannya, seperti yang
tercantum dibawah ini :
BULAN
Muharam Sapar Maulud Silih Mulud Jumalid Awal Jumalid Akhir Rajab Rewah Puasa/Ramadhan Syawal Hapit Rayagung |
HARI
Sabtu-Minggu Sabtu-Minggu Sabtu-Minggu Senin-Selasa Senin-Selasa Senin-Selasa Rabu-Kamis Rabu-Kamis Rabu-Kamis Jum'at Jum'at Jum'at |
TANGGAL
11,14 1,20 1,15 10,14 10,20 10,14 12,13 19,20 9,11 10,11 2,12 6,20 |
Pada hari-hari dan tanggal-tanggal tersebut,
dilarang atau tabu untuk menyelenggarakan pesta atau upacara-upacara
perkawinan, atau khitanan. Upacara perkawinan boleh dilaksanakan bertepatan
dengan hari-hari dilaksanakannya upacara menyepi. Selain perhitungan untuk
menentukan hari baik untuk memulai suatu pekerjaan, seperti upacara perkawinan,
khitanan, mendirikan rumah, dan lain-lain, perhitungannya juga didasarkan
kepada hari-hari sial atau nahas yang terdapat pada setiap bulannya.
Religi
dan Sistem Kepercayaan
Penduduk Kampung Naga semuanya
beragama Islam, akan tetapi sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga
sangat taat memegang adat istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya. Artinya
walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, namun syariat Islam yang mereka
jalankan agak berbeda dengan pemeluk agama Islam lainnya. Bagi masyarakat
Kampung Naga, dalam menjalankan agamanya harus seperti patuh terhadap warisan
nenek moyang. Pengajaran mengaji bagi anak-anak dikampung Naga dilaksanakan
pada malam senin dan malam kamis, sedangkan pengajian bagi orang tua dilaksanakan
pada malam jumat. Upacara Hajat Sasih ini menurut kepercayaan masyarakat
Kampung Naga sama dengan Lebaran dan Idul Adha.
Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga,
dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para
leluhur atau karuhun. Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun
Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sebagai sesuatu
yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga,
berarti sama saja melanggar adat dan tidak menghormati karuhun. Sehingga hal
ini dipercaya pasti akan menimbulkan malapetaka.
Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada makhluk
halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai,
yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang
dalam "leuwi". Kemudian "ririwa" yaitu mahluk halus yang
senang menganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari, ada pula yang
disebut "kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan
hamil yang meninggal dunia, ia suka mengganggu wanita yang sedang atau akan
melahirkan. Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus
tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau
sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi
Ageng dan Masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung
Naga.
Sistem
kepercayaan masyarakat Kampung Naga terhadap ruang terwujud pada kepercayaan
bahwa ruang atau tempat-tempat yang memiliki batas-batas tertentu dikuasai oleh
kekuatan-kekuatan tertentu pula. Tempat atau daerah yang mempunyai batas dengan
kategori yang berbeda seperti batas sungai, batas antara pekarangan rumah
bagian depan dengan jalan, tempat antara pesawahan dengan selokan, tempat air
mulai masuk atau disebut dengan huluwotan, tempat-tempat lereng bukit, tempat
antara perkampungan dengan hutan, dan sebagainya, merupakan tempat-tempat yang
didiami oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Daerah yang memiliki batas-batas
tertentu tersebut didiami mahluk-mahluk halus dan dianggap angker atau sanget.
Itulah sebabnya di daerah itu masyarakat Kampung Naga suka menyimpan
"sasajen" (sesaji).
Sistem Kekerabatan Kampung
Naga
A. Pengertian dan Penjelasan Sistem
kekerabatan
Sistem kekerabatan
merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer
Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk
menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan
adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga
yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan
terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek,
nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok
kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga
ambilineal, klan, fatri,
dan paroh
masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok
kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga
luas, keluarga
bilateral, dan keluarga
unilateral.
Hubungan kekerabatan atau
kekeluargaan merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal-usul
silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya.
Dalam antropologi, sistem kekerabatan termasuk keturunan dan pernikahan, sementara
dalam biologi istilah ini termasuk keturunan dan perkawinan. Hubungan
kekerabatan manusia melalui pernikahan umum disebut sebagai "hubungan
dekat" ketimbang "keturunan" (juga disebut
"konsanguitas"), meskipun kedua hal itu bisa tumpang tindih dalam
pernikahan di antara orang-orang yang satu moyang. Hubungan kekeluargaan
sebagaimana genealogi budaya dapat ditarik kembali pada Tuhan (lihat mitologi,
agama), hewan yang berada dalam daerah atau fenomena alam (seperti pada kisah
penciptaan).
Jadi hubungan kekerabatan
adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam
kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah. Hubungan keluarga dapat
dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek) atau secara abstrak menurut
tingkatan kekerabatan. Sebuah hubungan dapat memiliki syarat relatif (mis.,
ayah adalah seseorang yang memiliki anak), atau mewakili secara absolut (mis,
perbedaan status antara seorang ibu dengan wanita tanpa anak). Tingkatan
kekerabatan tidak identik dengan pewarisan maupun suksesi legal. Banyak kode
etik yang menganggap bahwa ikatan kekerabatan menciptakan kewajiban di antara
orang-orang terkait yang lebih kuat daripada di antara orang asing, seperti
bakti anak.
B. Sistem kekerabatan di Suku Sunda
Keanekeragaman
sistem kekerabatan yang di pakai di Indonesia sangatlah beragam. Salah satunya
di suku Sunda. Sistem kekerabatan suku Sunda adalah Bilateral. Garis keturunan
diperhitungkan menurut ayah dan ibu. Dalam masyarakat Sunda tidak membedakan
kerabat pihak laki-laki (Ayah) dengan pihak perempuan (Ibu) dalam antropologi.
Sistem ini disebut Kendred.
Pengertian keluarga dalam masyarakat sunda sangat luas, selama ada ikatan perkawinan (Afinity) dan pertalian ikatann darah (consanguinity) baik dari pihak ayah maupun ibu di sebut dulur urang atau wargi atau keluarga.
Pengertian keluarga dalam masyarakat sunda sangat luas, selama ada ikatan perkawinan (Afinity) dan pertalian ikatann darah (consanguinity) baik dari pihak ayah maupun ibu di sebut dulur urang atau wargi atau keluarga.
Dalam
masyarakat sunda dikenal istilah sabondoroyot, artinya 7 turunan atau generasi.
Istilah untuk menyebut keturunan dari atas ke bawah tersebut adalah sebagai
berikut :
1) Kolot
2) Embah
3) Buyut
4) Bao
5) Janggawareng
6) Udeg-udeg
7) Gantungsiwur
sedangkan dari bawah ke
atas adalah sebagai berikut :
1) Anak
2) Incu
3) Buyut
4) Bao
5) Janggawareng
6) Udeg-udeg
7) Gantungsiwur
Masyarakat
Sunda mempunyai kebebasan untuk memilih jodohnya, namun terdapat larangan
menikah dengan sesama keluarga batih, selain itu dianjurkan untuk tidak menikah
dengan saudara dekat, agar persaudaraan makin luas dan kalau ada penyakit tidak
ditunkan. Pepatah sunda mengatakan “lamun nyiar jodo kudu sawaja sabeusi”
artinya dalam mencari jodo harus sesuai dan cocok.
Sistem
keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak
ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala
keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat
mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam
suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk
menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang
berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut
(piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal
seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak
saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung
serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan
seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah
(salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah
dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur atau garis
keturunan.
C. Sistem kekerabatan di Kampung Naga
Dahulu, di
Kampung Naga terdapat berbagai macam aturan dalam hal kekerabatan. Misalnya,
pernikahan. Dahulu masyarakat Kampung Naga tidak memperbolehkan warganya untuk
menikah dengan orang-orang dari luar Kampung Naga. Hal ini dimaksudkan agar
kemurnian tradisi Kampung Naga tetap terjaga. Setelah kelompok kami melakukan
sedikit tanya jawab dengan warga Kampung Naga, mereka berkata bahwa saat ini
pernikahan sifatnya sudah lebih fleksibel. Fleksibel disini yang dimaksudkan
adalah warga Kampung Naga boleh menikahi orang-orang di luar Kampung Naga, dan
sekarang ini warga sudah boleh menentukan apakah setelah menikah akan tetap
tinggal di Kampung Naga, atau pergi keluar dari Kampung Naga. Ini terbukti dari
adanya beberapa keluarga yang istrinya berasal dari luar Kampung Naga. Dan
konon ada juga beberapa warga Kampung Naga yang pergi keluar setelah menikah.
Salah satu budaya atau larangan yang berkaitan erat dengan keturunan adalah
pernikahan, dimana setiap warga Kampung Naga yang sudah cukup umur untuk
menikah tidak boleh menikah dengan orang dari daerah lain. Mengapa begitu? Karena
menurut kebudayaan Kampung Naga hal itu bisa menimbulkan adanya kesenjangan
sosial dan bisa membuka celah-celah era globalisasi yang dapat merusak
kepribadian atau adat-adat yang masih ada di Kampung Naga, yang masih sangat
lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan
kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi. Dalam sistem kekerabatan di
masyarakat, mengambil garis keturunan ayah dan ibu.
Keluarga inti pada mayarakat Kampung Naga terdiri atas ayah, ibu, dan
anak-anak yang belum menikah. Beberapa anak yang sudah menikah ada juga yang
masih tinggal bersama orang tua mereka karena mereka ini belum siap untuk
pindah atau belum memiliki rumah sendiri. Setiap individu yang hidup dalam
suatu masyarakat, secara biologis menyebut kerabat kepada orang yang mempunyai
hubungan darah, baik melalui ayah maupun ibu.
Masyarakat Kampung Naga yang diperluas lagi dengan warganya yang tinggal di
luar wilayah Kampung Naga, masih terikat oleh adat Sa Nega. Mereka
dengan kerabatnya yang secara biologis masih terikat pada adat Kampung Naga
selalu melakukan kegiatan bersama dan ketentuan tersebut dipatuhi oleh seluruh
warga Sa Naga. Pada hakekatnya, berbagai kegiatan dan upacara yang dilakukan
mampu menyatukan mereka dalam satu ikatan kekeluargaan dan satu keturunan.
Disamping
perkawinan, yang berkaitan dengan sistem kekerabatan Kampung Naga adalah sistem
pembagian harta atau warisan. Berbicara masalah pembagian hak waris, terdapat
dua kebiasaan. Sebagian masyarakat berpatokan pada hukum atau syariat agama
islam, yaitu hak waris untuk laki-laki dan perempuan adalah dua berbanding
satu. Akan tetapi sebagaian warga lainnya yang teguh mempertahankan adat
peninggalan leluhurnya membagi warisan berdasarkan hukum adat yang tidak
membedakan hak antara laki-laki dan perempuan.
Tokoh masyarakat dalam rangka membimbing warga masyarakatnya sangat luwes
dan rajin menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat yang dianut oleh
masyarakat adat kampung naga tersebut. Sehingga tergeraklah hati nuraninya
warga Kampung Naga untuk mengikuti aturan-aturan yang ada di kampung naga
sehingga menimbulkan peningkatkan kepercayaan dari masyarakat adat. Hal ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Pengetahuan
Tokoh masyarakat dalam membina warganya agar dapat mengikuti ketentuan
hukum adat kampung naga, dengan jalan:
- Memberikan contoh yang baik kepada masyarakat tentang pelaksanaan adat nenek moyang yang dimiliki kampung naga.
- Memberikan penjelasan kepada masyarakat adat kampung naga bagaimana cara melaksanakan ketentuan adat yang berlaku di kampung naga.
- Menginformasikan kepada warga masyarakat adat kampung naga bila tidak melaksanakan ketentuan adat yang berlaku.
b.
Pemahaman
Tokoh masyarakat kampung naga berusaha menyampaikan persepsi tentang
adat-adat yang ada dan aturan yang berlaku di kampung naga, sehingga pemahaman warga
masyarakat terhadap adat yang dianutnya seragam dan kuat.
Pemahaman masyarakat adat kampung Naga dapat dilihat dari kehidupan
sehari-hari mereka masih tetap melaksanakan adat leluhurnya secara taat dan
patuh, misalnya: Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah
rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya. Bentuk rumah dan letak rumah
yang ada di kampung Naga semuanya sama.
Di samping itu dalam pelaksanaan upacara adat semua warga dapat mengikuti
dengan hidmat, baik upacara menyepi/hari tabu, hajat sasih maupun upacara
perkawinan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Ketua Adat.
c.
Ketaatan
Ketaatan warga kampung Naga terhadap hukum adat sangat kuat, hal ini dapat
dilihat dari pelaksanaan kehidupan sehari-hari seperti tabu, pantangan atau
pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya
dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas
kehidupannya, pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak
tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya
tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara,
kesenian, dan sebagainya.
Ketaatan warga ini diawali oleh Tokoh masyarakat dalam membina warganya
dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari, dan memberikan
sanksi kepada warga masyarakat secara bertahap. Adapun sanksi yang ada pada
masyarakat kampung naga adalah ada dua, antara lain :
- Sanksi tertulis
Bila seseorang atau warga masyarakatnya yang melanggar salah satu adat
(yang dilarang) yang ada di kampung naga misalnya: upacara menyepi/hari tabu,
upacara perkawinan,upacara hajat sasih, maka tindakan yang dilakukan oleh Ketua
Adat, pertama dengan cara menegurnya, kedua dengan cara memberikan surat yang
isinya menyuruh keluar/pindah dari kampung naga untuk selama-lamanya dan sampai
kapan pun tidak bisa mengikuti upacara adat kampung naga.
- Sanksi tak tertulis
Ada beberapa sanksi yang tak tertulis yang berlaku di kampung naga antara
lain:
- Amanat. Amanat artinya pesan yang disampaikan dari leluhurnya/nenek moyangnya kepada seseorang yang dipercaya. Ajaran-ajarannya agar dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku di adat kampung naga.
- Wasiat. Wasiat artinya pesan yang diberikan dari leluhurnya kepada seseorang yang dipercaya baik berupa barang atau mantra-mantra agar dilestarikan.
- Akibat. Akibat artinya sesuatu yang terjadi yang disebabkan oleh suatu kejadian atau masalah imbalan dari suatu perbuatan yang dilarang.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas hukum adat merupakan salah satu
aturan hukum yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat dan selalu dilaksanakan
dalam pergaulan kehidupannya. Mengingat pentingya hukum adat tersebut bagi
kehidupan masyarakat, maka aturan hukum tersebut selalu dipertahankan dan dijunjung
tinggi serta dilaksanakan secara turun temurun dari generasi ke genarasi
seperti pada masyarakat adat kampung naga.
Peran serta tokoh-tokoh masyarakat Kampung Naga seperti telah dijelaskan di
atas tidak dilakukan secara insidental atau temporer, tetapi benar-benar
dilakukan secara kontinyu dan khusus, sehingga pembinaan kesadaran hukum
terarah dan berencana.
Tokoh masyarakat kampung naga memiliki hubungan sosial lebih luas daripada
masyarakatnya, hal ini dapat dilihat dari pengetahuan, pemahaman dan ketaatan
tokoh masyarakat adat terhadap hukum adat yang berlaku di kampung naga, mereka
diyakini oleh masyarakat setempat tokoh masyarakat khususnya Pemimpin adat
adalah seseorang yang biasa disebut kuncen,sebagai orang yang dituakan,
perkataan kuncen sangat didengar dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung
adat. Kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan memberi
petunjuk-petunjuk khusus dalam kehidupan adat istiadat Kampung Naga.
Peranan kuncen sebagai pemimpin informal di Kampung Naga terlihat
konkrit ketika memberi nasihat, saran, dan pendapat serta bagaimana ia
mengendalikan perilaku masyarakat Kampung Naga. Kepatuhan warga kepada kuncen
karena ia dipandang sebagai pengemban amanat leluhur, hingga apa yang
diucapkannya akan dipatuhi termasuk larangan untuk tidak membicarakan sejarah,
asal usul Kampung Naga dan tradisi pada hari-hari tertentu.
D. Silsilah atau Keturunan di Kampung Naga
Di kampung
naga, salah satu budaya atau larangan yang berkaitan erat dengan keturunan
adalah pernikahan, dimana setiap warga Kampung Naga yang sudah cukup umur untuk
menikah tidak boleh menikah dengan orang dari daerah lain. Mengapa begitu?
Karena menurut kebudayaan Kampung Naga
hal itu bisa menimbulkan adanya kesenjangan sosial dan bisa membuka celah-celah
era globalisasi yang dapat merusak kepribadian atau adat-adat yang masih ada di
Kampung Naga, yang masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat
menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi.
Dalam sistem kekerabatan di masyarakat, mengambil garis keturunan ayah
(Patrilineal).
Note :
Sumber atau data yang saya peroleh berasal dari hasil
study tour saya dkk. bersama sekolah kami (SMAN 1 Bekasi) ke kampung naga pada tahun 2009.
Sistem
Perekonomian Kampung Naga
Sebelumnya,
saya telah membahas tentang dimensi sosial ekonomi serta interaksi sosial yang
ada pada masyarakat Kampung Naga. Selanjutnya, saya akan mencoba menganalisis
tentang sistem perekonomian terdapat di dalam Kampung Naga.
Pengertian Sistem Ekonomi
Menurut
Dumairy (1996), Sistem Ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin
hubungan ekonomi antar manusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu
tatanan kehidupan. Selanjutnya, dikatakan pula bahwa suatu sistem ekonomi
tidaklah harus berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan falsafah, pandangan dan
pola hidup masyarakat dimana ia berpijak. Sistem Ekonomi sesungguhnya merupakan
salah satu unsur saja dalam suatu supra sistem kehidupan masyarakat. Sehingga
sistem ekonomi merupakan bagian dari kesatuan ideologi masyarakat di suatu
negara.
Sistem Perekonomian Kampung Naga
Dari
beberapa sistem ekonomi yang ada di dunia, Kampung Naga termasuk daerah yang
menganut sistem ekonomi tradisional. Hal itu dapat kita lihat dari ciri-ciri
sebagai berikut.
a.
Teknologi
yang digunakan masih sangat sederhana
b.
Tidak
terdapat pembagian kerja, jikapun ada masih sangat sederhana
c.
Kegiatan
ekonomi sepenuhnya diserahkan dan dilaksanakan oleh swasta/masyarakat
d.
Keikutsertaan
pemerintah dalam bidang ekonomi dilakukan tidak secara langsung
e.
Kebebasan
masyarakat untuk berinovasi dan berimprovisasi diakui dan dihormati
Sektor-sektor Perekonomian Kampung Naga
Pada dasarnya, perekonomian Kampung Naga
ditunjang oleh lima sektor, yaitu pertanian, peternakan, kerajinan tangan,
penerjemah, dan pariwisata. Berikut ini akan dibahas mengenai sektor-sektor
utama dalam perekonomian Kampung Naga.
1.
Pertanian
Pertanian adalah sektor utama perekonomian
di Kampung Naga. Berikut ini adalah beberapa rincian kegiatan pertanian di
Kampung Naga.
·
Sebagian
hasil padi disimpan untuk makanan sehari-hari penduduk, dan selebihnya dijual.
·
Sawah
digarap sendiri.
·
Harga
padi Rp 300,-/kg, Rp 300.000,-/kwintal (data pada tahun 2009).
·
Sawah
dimiliki secara turun-temurun.
·
Padi
adalah tanaman utama yang ada didalam persawahan. Namun selain padi, penduduk
Kampung Naga juga menanam jagung, talas, dan ubi.
·
Penduduk
Kampung Naga biasanya berangkat ke sawah pada pagi atau siang hari.
·
Pendapatan
dari sektor pertanian ini tidak tetap, terkadang naik terkadang turun.
·
Bibit
dibeli dalam jumlah besar dan disimpan untuk ditanam pada masa tanam
berikutnya, sedangkan pupuk dibuat sendiri dari kotoran hewan.
·
Sejauh
ini, penduduk Kampung Naga belum pernah mengalami gagal panen.
2.
Peternakan
Selanjutnya, peternakan merupakan salah
satu kegiatan yang ada di Kampung Naga. Meski demikian, peternakan bukan
merupakan sektor utama perekonomian Kampung Naga.
·
Hewan
yang diternakkan adalah kambing dan ayam.
·
Seperti
halnya dalam sektor pertanian, sebagian hasil ternak dijual dan sebagian lagi
untuk dimakan.
·
Makanan
untuk ternak dapat mereka hasilkan sendiri, yaitu rumput untuk kambing dan
beras serta jagung untuk ayam.
3. Kerajinan
Salah satu kegiatan ekonomi yang ada di
Kampung Naga ialah kerajinan. Selain menjadi kegiatan ekonomi, kerajinan juga merupakan khas dari
masyarakat Kampung Naga.
·
Sebagian
kerajinan dibuat di Kampung Naga, sebagian lain di luar.
·
Kerajinan
yang dibuat di Kampung Naga terbuat dari lidi dan bambu, biasanya berupa
anyaman.
·
Pendapatan
yang dihasilkan dari sektor kerajinan ini berbeda-beda.
·
Sebagian
uang hasil pendapatan tersebut disimpan di bank, dan sisanya disimpan sendiri.
·
Kerajinan-kerajinan
ini telah dikembangkan sejak zaman dulu.
·
Biasanya
kerajinan-kerajinan tersebut dibuat di rumah.
·
Harga
kerajinan berkisar dari Rp 2.000,- hingga Rp 200.000,- (data pada tahun 2009).
·
Jenis
barang kerajinan tersebut adalah tas, pensil, pajangan, hiasan, dll.
4. Penerjemah
Meski mayoritas penduduk Kampung Naga
adalah petani dan peternak, tetapi mereka juga tetap berpendidikan (sekolah). Ada
penduduk Kampung Naga yang sekolah di luar daerah, bahkan melanjutkan
sekolahnya sampai ke luar negeri. Sepulang dari luar negeri, biasanya mereka kembali ke Kampung Naga untuk
mengabdi di sana sebagai penerjemah bagi turis yang datang. Saat ini ada empat
belas orang penerjemah (data pada tahun 2009) yang bertugas memandu wisatawan
asing yang ingin mengenal seluk-beluk dari Kampung Naga.
5. Pariwisata
Bisa dibilang, pariwisata adalah sektor
yang secara tidak langsung menjadi andalan perekonomian Kampung Naga selain
sektor pertanian. Dahulu, wisatawan yang datang ke Kampung Naga tidak dipungut
biaya ketika datang menginap, namun sekarang Kampung Naga telah memasang tarif.
Oleh karena itu, sebagai objek wisata dengan alam dan penduduknya, pariwisata
pun menjadi salah satu bidang penghasil uang bagi penduduk Kampung Naga.
Note :
Sumber atau data yang saya peroleh berasal dari hasil
study tour saya dkk. bersama sekolah kami (SMAN1 Bekasi) ke kampung naga pada tahun 2009.
Interaksi Sosial Masyarakat Kampung Naga
Perkembangan zaman yang cenderung cepat membawa pengaruh
yang luas bagi kehidupan masyarakat. Pergeseran nilai-nilai budaya terjadi di
hampir seluruh kawasan, termasuk kawasan Asia, dan terlebih Indonesia. Banyak
masyarakat di negeri ini telah meninggalkan warisan budaya nenek moyang,
terutama generasi muda yang cenderung lebih condong kepada budaya Barat, dan
melupakan nilai-nilai budaya sendiri. Teknologi komunikasi telah menyebabkan
arus informasi menjadi kian cepat, dan ini mempercepat perubahan-perubahan
dalam masyarakat.
Kendati demikian, kemudahan-kemudahan berkomunikasi yang tercipta pada masa sekarang tidak jarang membawa dampak negatif, seperti apabila dalam istilah anak-anak muda disebut sebagai korban mode, yaitu cara berpakaian seseorang yang sebenarnya tidak pantas dikenakan oleh orang tersebut hanya karena ingin mengikuti trend tanpa melihat lingkungan sekitar dan pantas atau tidak seseorang tersebut mengenakannya. Hal demikian terjadi dikarenakan masyarakat belum siap sepenuhnya menerima keadaan yang sangat cepat berubah. Karena ketidakpastian tersebut maka segala bentuk informasi dapat menembus filter.
Kecenderungan demikian menarik sekali menyimak kenyataan bahwa di beberapa daerah tertentu di Indonesia terdapat masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat yang telah dianut sejak masa nenek moyang hingga kini, salah satu diantaranya adalah masyarakat Kampung Naga yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Secara geografis Kampung Naga memiliki wilayah yang tidak terisolir. Letaknya hanya sekitar 500 m dari jalan raya yang menghubungkan kota Tasikmalaya dan Garut. Kampung Naga mempunyai luas keseluruhan kurang lebih 4 ha dan secara administratif adalah bagian dari desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Berada di tengah masyarakat global, masyarakat Kampung Naga pun tetap tidak melupakan dunia luar dan dapat bersikap kooperatif dengan masyarakat umum maupun pemerintah. Mereka dapat menerima kemajuan-kemajuan teknologi asalkan tidak bertentangan dengan hukum adat yang dipegang. Adat yang dipegang teguh banyak mengajarkan kepada kesederhanaan, pelestarian lingkungan dan sifat gotong royong yang masih cukup kental. Ini semua hal-hal yang mulai terkikis ditengah masyarakat umum pada masa sekarang ini. Hal demikian memberikan inspirasi untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang ada sehingga dapat mempertahankan warisan budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Berikut hasil pengamatan tentang pola interaksi sosial masyarakat Kampung Naga serta wawancara dari beberapa narasumber :
Kendati demikian, kemudahan-kemudahan berkomunikasi yang tercipta pada masa sekarang tidak jarang membawa dampak negatif, seperti apabila dalam istilah anak-anak muda disebut sebagai korban mode, yaitu cara berpakaian seseorang yang sebenarnya tidak pantas dikenakan oleh orang tersebut hanya karena ingin mengikuti trend tanpa melihat lingkungan sekitar dan pantas atau tidak seseorang tersebut mengenakannya. Hal demikian terjadi dikarenakan masyarakat belum siap sepenuhnya menerima keadaan yang sangat cepat berubah. Karena ketidakpastian tersebut maka segala bentuk informasi dapat menembus filter.
Kecenderungan demikian menarik sekali menyimak kenyataan bahwa di beberapa daerah tertentu di Indonesia terdapat masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat yang telah dianut sejak masa nenek moyang hingga kini, salah satu diantaranya adalah masyarakat Kampung Naga yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Secara geografis Kampung Naga memiliki wilayah yang tidak terisolir. Letaknya hanya sekitar 500 m dari jalan raya yang menghubungkan kota Tasikmalaya dan Garut. Kampung Naga mempunyai luas keseluruhan kurang lebih 4 ha dan secara administratif adalah bagian dari desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Berada di tengah masyarakat global, masyarakat Kampung Naga pun tetap tidak melupakan dunia luar dan dapat bersikap kooperatif dengan masyarakat umum maupun pemerintah. Mereka dapat menerima kemajuan-kemajuan teknologi asalkan tidak bertentangan dengan hukum adat yang dipegang. Adat yang dipegang teguh banyak mengajarkan kepada kesederhanaan, pelestarian lingkungan dan sifat gotong royong yang masih cukup kental. Ini semua hal-hal yang mulai terkikis ditengah masyarakat umum pada masa sekarang ini. Hal demikian memberikan inspirasi untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang ada sehingga dapat mempertahankan warisan budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Berikut hasil pengamatan tentang pola interaksi sosial masyarakat Kampung Naga serta wawancara dari beberapa narasumber :
·
Pola
Hubungan Antar Sesama Warga
1. Mereka
mengenal satu sama lain di Kampung Naga, sehingga
timbul perasaan saling menyayangi. Menurut Bu Heni, salah seorang warga, “Di Kampung Naga warga hidup
rukun dan saling menghargai. Hal ini terbukti
karena tidak pernah terjadi konflik antarwarga.” Setiap sore hari
ibu-ibu biasa berkumpul bersama untuk berbincang-bincang sambil menunggu suami
mereka pulang dari ladang sedangkan anak-anak bermain bersama setelah pulang
sekolah. Memang terlihat sepele tetapi kegiatan ini memupuk keakraban antar
warga. Sedangkan untuk komunikasi yang membutuhkan penyebaran cepat misalnya
untuk pemberitahuan gempa, bahaya, warga meninggal, ingin mengumpulkan massa ataupun
memberitahukan waktu-waktu penting (waktu subuh, magrib dan isya), digunakan kentongan
besar yang ada di depan masjid agar terdengar oleh semua warga.
2. Mereka berkewajiban
membantu jika ada yang kesulitan. Prinsip gotong royong juga mereka
anut sebagai pegangan hidup masyarakat karena mereka beranggapan bahwa sikap
gotong royong merupakan hal paling penting dan utama yang harus terus dijaga
dalam berkehidupan. Tidak satu pekerjaan dapat diselesaikan secara individu
kecuali dengan bantuan orang lain. Sebagai contoh, dalam acara perkawinan,
pembangunan rumah tinggal, perbaikan saluran air, sunatan, ataupun hajat-hajat
yang dilaksanakan oleh seseorang. Secara sukarela dan tanpa paksaan masyarakat
lain akan turut serta membantu orang yang mempunyai hajat sehingga dapat
meringankan beban dari orang tersebut. Tak hanya dalam hal yang menyangkut
kesenangan, dalam duka pun mereka tetap membantu. “Bila ada warga yang sakit
secara spontan warga akan memberikan pertolongan,” tutur Pak Ajat, seorang warga
Kampung Naga.
3.
Mereka
berkumpul bersama dalam acara rohani ataupun upacara-upacara adat rutin. Untuk ibu-ibu diadakan pengajian rutin setiap hari Jumat sekaligus arisan. Berdasarkan
keterangan yang kami dapat dari Pak Risman selaku ketua RT, upacara adat yang rutin
diselenggarakan ada enam kali, yaitu pada hari raya Muharam, Maulid, Jumadil,
Ibnu Syaban, Syawal dan Dul Hijah. Upacara ini dilaksanakan semua warga
Kampung Naga.
4. Mereka juga mengikuti
perkembangan zaman dan menggunakan media massa seperti televisi dan radio. Walaupun hanya beberapa yang memiliki tetapi
mereka menggunakannya bersama. Selain mendapat hiburan, hal ini juga menambah
kekompakkan warga karena terjadinya interaksi sosial secara langsung. Biasanya
mereka harus men-charge aki atau dinamonya
terlebih dahulu karena Kampung Naga tidak menggunakan listrik. Bahkan ada
diantara mereka yang pergi ke Kampung Naga luar hanya untuk menonton televisi. Tak
hanya itu, untuk memiliki wawasan lebih mereka juga menyekolahkan anak-anak
mereka pada sekolah umum yang letaknya di luar Kampung Naga. Memang Kampung
Naga sekilas tampak tradisional tapi jangan salah, sekitar dua belas pemuda
Kampung Naga mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Jepang dan
salah satunya adalah Pak Ucup yang telah kembali. Ini menunjukkan bahwa mereka
tidak buta informasi dan dapat menyimak perkembangan-perkembangan masyarakat
lain meski tak memiliki teknologi canggih seperti internet ataupun Handphone.
5. Bahasa yang mereka gunakan dalam
kehidupan sehari-hari sama yaitu bahasa Sunda, baik itu bahasa Sunda asli. Bahasa ini menjadi simbol pemersatu mereka
tetapi mereka tetap tidak melupakan bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia, walaupun
terlihat agak kaku dalam pengucapannya. Terkadang ada beberapa warga yang harus
menggunakan bahasa asing (Inggris) untuk berinteraksi dengan wisatawan asing
yang mengunjungi Kampung Naga.
·
Pola Hubungan Sesepuh atau Pemimpin Dengan Masyarakat
1. Masyarakat sangat menghormati
sesepuh atau pemimpin mereka. Sebagai contoh, mereka tidak mau menceritakan asal-usul Kampung Naga bila
ada pengunjung yang bertanya. Hal itu dikarenakan mereka sangat menghormati
wewenang Kuncen selaku pimpinan tertinggi dalam lembaga adat (informal).
Struktur kelembagaan di Kampung Naga ada dua, yaitu formal dan informal. Pada
lembaga formal terdapat Kadus (Pak Suharyo), RK (Pak Okin), dan RT (Pak Risman)
sedangkan pada lembaga informal terdapat Kuncen (Pak Ade Suherlin), Punduh (Pak
Ma’un), dan Lebe (Pak Atang Jaelani)
2. Sesepuh atau pimpinan bersikap
demokratis dan menghargai pendapat warga. Seperti pada pergantian ketua RT dilakukan semacam pemilihan oleh warga.
Namun pada lembaga informal pergantian pengurus dilakukan secara turun-temurun
karena sudah menjadi adat. Adapun warga Kampung Naga telah mengenal dan
mengikuti pemilu.
3.
Sesepuh atau pimpinan dapat mengayomi warga. Mereka selalu memberi arahan kepada warga untuk hidup sesuai dengan adat
dan agama. Terbukti hingga sekarang belum pernah ada warga yang melanggar adat.
Bila ada hal yang perlu di sosialisasikan atau di musyawarahkan, warga dan para
sesepuh atau pimpinan berkumpul bersama di balai kampung, yang dikenal dengan
Bale Patamon. Seperti pada Pemilu 2009 sejumlah warga mengaku, mereka mengenal
nama SBY, Mega, dan Prabowo dari sosialisasi Pemilu di Balai Kampung. Karena semua warga Kampung Naga beragama muslim, ceramah
agama pun sering dilakukan setelah sholat di mesjid.
4.
Sesepuh dan warga bersama-sama menjaga kelestarian
lingkungan dan adat. Mereka
tidak pernah sekali pun menyentuh hutan larangan apalagi merusak karena mereka
meyakini hutan merupakan penyeimbang kehidupan. Memainkan alat musik selain
angklung, terebang dan beluk di dalam Kampung Naga juga merupakan suatu
larangan. Mereka boleh mempelajari dan memainkan alat musik lain di luar
Kampung Naga namun tidak boleh membawa bahkan memainkannya di dalam Kampung
Naga. Hal ini dilakukan agar budaya asli masyarakat yang telah bertumbuh
kembang tidak pudar.
·
Pola
Hubungan Dalam Keluarga
1.
Antara
suami dengan istri terjalin hubungan yang rukun. Mereka
selalu makan bersama dan mengerjakan tugas masing-masing sesuai peranan.
Biasanya pasangan baru harus pindah ke Kampung Naga luar karena keterbatasan
lahan pada Kampung Naga dalam.
2.
Antara orangtua dengan anak-anak terjalin hubungan baik. Di setiap waktu senggang mereka berkumpul bersama sambil
berbincang-bincang atau menonton televisi. Banyak pemuda yang membantu
pekerjaan ayah atau ibu mereka contohnya seperti setelah pulang sekolah, ikut
membantu di ladang, membantu menjaga toko, atau membantu pekerjaan di rumah. Di
Kampung Naga luar retribusi parkir juga menjadi lahan pekerjaan pra pemuda
Kampung Naga.
3.
Pembagian warisan dalam keluarga diatur dalam hukum adat.
Bila dalam suatu keluarga terdapat dua
anak laki-laki dan dua anak perempuan,
maka warisan dibagi rata. Tetapi jika
laki-laki dan perempuan tidak sama, maka warisan dominan dilimpahkan kepada
anak laki-laki.
Kesimpulan
Kesimpulan
Di tengah
era globalisasi, Kampung Naga tampil sebagai kampung yang tetap dapat mempertahankan adat istiadat dan budaya
asli Bangsa Indonesia.
Pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang
ada terbukti dapat mempertahankan warisan
budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Pola-pola
komunikasi tersebut tercipta dari hubungan antar sesama warga, antara sesepuh
atau pimpinan dengan warga dan antar anggota keluarga Kampung Naga.
Note :
Sumber atau data yang saya peroleh berasal dari hasil
study tour saya dkk. bersama sekolah kami (SMAN 1 Bekasi) ke kampung naga pada tahun 2009.
Dimensi Sosial Ekonomi Masyarakat Kampung Naga
Di era perekonomian Indonesia yang tengah
didominasi oleh pihak swasta dan kaum bermodal serta di tuntutnya masyarakat
untuk lebih bergerak aktif lagi dalam berpartisipasi pada perekonomian Negara,
Pemerintah, pada dasarnya, melakukan hal tersebut dalam rangka mendorong
masyarakat untuk meninggalkan era Masyarakat yang tradisional ke era Masyarakat
Industri. Ini ditujukan Pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya yang
ada pada masyarakat. Hal seperti ini menarik sekali, menyimak kenyataan bahwa ada
beberapa tempat yang dimana sistem perekonomian masyarakatnya tidak terjamah
oleh dominasi-dominasi kaum bermodal dan masih sangat mencerminkan masyarakat
tahap pra-modern, salah satunya adalah masyarakat Kampung Naga yang terdapat di
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kampung Naga mempunyai luas keseluruhan
kurang lebih 4 ha dan secara administratif adalah bagian dari desa Neglasari
Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Berada di tengah masyarakat global saat ini,
masyarakat Kampung Naga yang masih memegang teguh adat istiadat yang telah
dianut sejak masa nenek moyang hingga kini, tidaklah melupakan dunia luar dan
mereka pun dapat bersikap kooperatif baik terhadap masyarakat umum maupun
pemerintah. Demikian sistem perekonomian mereka yang masih bersifat sistem
ekonomi tradisional, dengan keluarga sebagai unit produksi. Mayoritas
masyarakat Kampung Naga bermata pencaharian sebagai peternak, pengrajin,
penerjemah (bahasa sehari-hari atau sunda asli bagi para turis), petani dan
juga Kampung Naga itu dijadikan sebagai tempat pariwisata (secara tidak
langsung). Tetapi sektor utama perekonomian di Kampung Naga adalah pertanian. Seperti
sistem ekonomi mereka yang masih tradisional, disini tidak terdapat pemisah
yang tegas antara rumah tangga produksi dengan rumah tangga konsumsi sehingga
masih bisa dianggap dalam satu kesatuan, selain itu teknologi yang digunakan
juga masih sangat sederhana.
Dari perspektif Sosiologi Ekonomi, bisa dikatakan
bahwa masyarakat Kampung Naga memiliki tindakan ekonomi “House Holding”, dimana
kegiatan ekonominya berorientasi pada self sufficiency atau kecukupan untuk
bertahan hidup. Secara umumnya masyarakat Kampung Naga merupakan masyarakat
yang berlandaskan “Solidaritas Mekanik” yang ditandai oleh adanya pembagian
kerja yang rendah, kesadaran kolektif yang kuat, hukum represif yang dominan,
individualitas rendah, pola normatif sebagai konsensus terpenting dalam
komunitas, dan saling ketergantungan rendah, dimana tindakan ekonomi (produksi,
konsumsi dan distribusi) dianggap sebagai bentuk tindakan dan interaksi sosial
yang akan mempererat keeratan masyarakat Kampung Naga itu sendiri.
Sebenarnya yang membedakan masyarakat Kampung Naga
dengan masyarakat lainnya dalam kegiatan produksi, konsumsi dan distribusi
ialah bahwasanya masyarakat Kampung Naga melakukan hal tersebut dengan didasari
oleh adat istiadat dan tradisi yang mereka anut selama ini. Meskipun begitu, mereka dapat menerima kemajuan-kemajuan
teknologi asalkan tidak bertentangan dengan hukum adat yang dipegang. Adat yang dipegang
teguh banyak mengajarkan kepada kesederhanaan, pelestarian lingkungan dan sifat
gotong royong yang masih cukup kental.
Sebagai contoh, didalam
lingkungan masyarakat Kampung Naga terdapat dua hutan yang di kategorikan
sebagai hutan larangan, mereka tidak pernah sekali pun menyentuh maupun merusak
hutan larangan karena mereka meyakini hutan merupakan penyeimbang kehidupan,
sehingga mereka tidak berani untuk mengambil atau menebang kayu dan bambu dari
hutan tersebut, sehingga dalam memproduksi kayu dan bambu yang digunakan untuk
membuat rumah maupun kerajinan, mereka mengambil dari kebun mereka sendiri. Ini
semua merupakan hal-hal yang mulai terkikis ditengah masyarakat umum pada masa
sekarang yang lebih cenderung bersifat individualitas dan mengambil sumber daya
alam tanpa memperhatikan dampaknya bagi lingkungan sekitar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar