Selasa, 17 April 2012

Sistem Kekerabatan Kampung Naga


Sistem Kekerabatan Kampung Naga

A. Pengertian  dan Penjelasan Sistem kekerabatan
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Meyer Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Dalam kajian sosiologi-antropologi, ada beberapa macam kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti keluarga ambilineal, klan, fatri, dan paroh masyarakat. Di masyarakat umum kita juga mengenal kelompok kekerabatan lain seperti keluarga inti, keluarga luas, keluarga bilateral, dan keluarga unilateral.
Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal-usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Dalam antropologi, sistem kekerabatan termasuk keturunan dan pernikahan, sementara dalam biologi istilah ini termasuk keturunan dan perkawinan. Hubungan kekerabatan manusia melalui pernikahan umum disebut sebagai "hubungan dekat" ketimbang "keturunan" (juga disebut "konsanguitas"), meskipun kedua hal itu bisa tumpang tindih dalam pernikahan di antara orang-orang yang satu moyang. Hubungan kekeluargaan sebagaimana genealogi budaya dapat ditarik kembali pada Tuhan (lihat mitologi, agama), hewan yang berada dalam daerah atau fenomena alam (seperti pada kisah penciptaan). 
Jadi hubungan kekerabatan adalah salah satu prinsip mendasar untuk mengelompokkan tiap orang ke dalam kelompok sosial, peran, kategori, dan silsilah. Hubungan keluarga dapat dihadirkan secara nyata (ibu, saudara, kakek) atau secara abstrak menurut tingkatan kekerabatan. Sebuah hubungan dapat memiliki syarat relatif (mis., ayah adalah seseorang yang memiliki anak), atau mewakili secara absolut (mis, perbedaan status antara seorang ibu dengan wanita tanpa anak). Tingkatan kekerabatan tidak identik dengan pewarisan maupun suksesi legal. Banyak kode etik yang menganggap bahwa ikatan kekerabatan menciptakan kewajiban di antara orang-orang terkait yang lebih kuat daripada di antara orang asing, seperti bakti anak.
B. Sistem kekerabatan di Suku Sunda
Keanekeragaman sistem kekerabatan yang di pakai di Indonesia sangatlah beragam. Salah satunya di suku Sunda. Sistem kekerabatan suku Sunda adalah Bilateral. Garis keturunan diperhitungkan menurut ayah dan ibu. Dalam masyarakat Sunda tidak membedakan kerabat pihak laki-laki (Ayah) dengan pihak perempuan (Ibu) dalam antropologi. Sistem ini disebut Kendred.
Pengertian keluarga dalam masyarakat sunda sangat luas, selama ada ikatan perkawinan (Afinity) dan pertalian ikatann darah (consanguinity) baik dari pihak ayah maupun ibu di sebut dulur urang atau wargi atau keluarga.
Dalam masyarakat sunda dikenal istilah sabondoroyot, artinya 7 turunan atau generasi. Istilah untuk menyebut keturunan dari atas ke bawah tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Kolot
2)      Embah
3)      Buyut
4)      Bao
5)      Janggawareng
6)      Udeg-udeg
7)      Gantungsiwur

sedangkan dari bawah ke atas adalah sebagai berikut :
1)      Anak
2)      Incu
3)      Buyut
4)      Bao
5)      Janggawareng
6)      Udeg-udeg
7)      Gantungsiwur
Masyarakat Sunda mempunyai kebebasan untuk memilih jodohnya, namun terdapat larangan menikah dengan sesama keluarga batih, selain itu dianjurkan untuk tidak menikah dengan saudara dekat, agar persaudaraan makin luas dan kalau ada penyakit tidak ditunkan. Pepatah sunda mengatakan “lamun nyiar jodo kudu sawaja sabeusi” artinya dalam mencari jodo harus sesuai dan cocok.
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya, pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak, incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah (salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur atau garis keturunan.

C. Sistem kekerabatan di Kampung Naga
Dahulu, di Kampung Naga terdapat berbagai macam aturan dalam hal kekerabatan. Misalnya, pernikahan. Dahulu masyarakat Kampung Naga tidak memperbolehkan warganya untuk menikah dengan orang-orang dari luar Kampung Naga. Hal ini dimaksudkan agar kemurnian tradisi Kampung Naga tetap terjaga. Setelah kelompok kami melakukan sedikit tanya jawab dengan warga Kampung Naga, mereka berkata bahwa saat ini pernikahan sifatnya sudah lebih fleksibel. Fleksibel disini yang dimaksudkan adalah warga Kampung Naga boleh menikahi orang-orang di luar Kampung Naga, dan sekarang ini warga sudah boleh menentukan apakah setelah menikah akan tetap tinggal di Kampung Naga, atau pergi keluar dari Kampung Naga. Ini terbukti dari adanya beberapa keluarga yang istrinya berasal dari luar Kampung Naga. Dan konon ada juga beberapa warga Kampung Naga yang pergi keluar setelah menikah. Salah satu budaya atau larangan yang berkaitan erat dengan keturunan adalah pernikahan, dimana setiap warga Kampung Naga yang sudah cukup umur untuk menikah tidak boleh menikah dengan orang dari daerah lain. Mengapa begitu? Karena menurut kebudayaan Kampung Naga hal itu bisa menimbulkan adanya kesenjangan sosial dan bisa membuka celah-celah era globalisasi yang dapat merusak kepribadian atau adat-adat yang masih ada di Kampung Naga, yang masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi. Dalam sistem kekerabatan di masyarakat, mengambil garis keturunan ayah dan ibu.
Keluarga inti pada mayarakat Kampung Naga terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Beberapa anak yang sudah menikah ada juga yang masih tinggal bersama orang tua mereka karena mereka ini belum siap untuk pindah atau belum memiliki rumah sendiri. Setiap individu yang hidup dalam suatu masyarakat, secara biologis menyebut kerabat kepada orang yang mempunyai hubungan darah, baik melalui ayah maupun ibu.
Masyarakat Kampung Naga yang diperluas lagi dengan warganya yang tinggal di luar wilayah Kampung Naga, masih terikat oleh adat Sa Nega. Mereka dengan kerabatnya yang secara biologis masih terikat pada adat Kampung Naga selalu melakukan kegiatan bersama dan ketentuan tersebut dipatuhi oleh seluruh warga Sa Naga. Pada hakekatnya, berbagai kegiatan dan upacara yang dilakukan mampu menyatukan mereka dalam satu ikatan kekeluargaan dan satu keturunan.
Disamping perkawinan, yang berkaitan dengan sistem kekerabatan Kampung Naga adalah sistem pembagian harta atau warisan. Berbicara masalah pembagian hak waris, terdapat dua kebiasaan. Sebagian masyarakat berpatokan pada hukum atau syariat agama islam, yaitu hak waris untuk laki-laki dan perempuan adalah dua berbanding satu. Akan tetapi sebagaian warga lainnya yang teguh mempertahankan adat peninggalan leluhurnya membagi warisan berdasarkan hukum adat yang tidak membedakan hak antara laki-laki dan perempuan.
Tokoh masyarakat dalam rangka membimbing warga masyarakatnya sangat luwes dan rajin menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat yang dianut oleh masyarakat adat kampung naga tersebut. Sehingga tergeraklah hati nuraninya warga Kampung Naga untuk mengikuti aturan-aturan yang ada di kampung naga sehingga menimbulkan peningkatkan kepercayaan dari masyarakat adat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

  1. Pengetahuan
Tokoh masyarakat dalam membina warganya agar dapat mengikuti ketentuan hukum adat kampung naga, dengan jalan:
  1. Memberikan contoh yang baik kepada masyarakat tentang pelaksanaan adat nenek moyang yang dimiliki kampung naga.
  2. Memberikan penjelasan kepada masyarakat adat kampung naga bagaimana cara melaksanakan ketentuan adat yang berlaku di kampung naga.
  3. Menginformasikan kepada warga masyarakat adat kampung naga bila tidak melaksanakan ketentuan adat yang berlaku.
 b.      Pemahaman

Tokoh masyarakat kampung naga berusaha menyampaikan persepsi tentang adat-adat yang ada dan aturan yang berlaku di kampung naga, sehingga pemahaman warga masyarakat terhadap adat yang dianutnya seragam dan kuat.
Pemahaman masyarakat adat kampung Naga dapat dilihat dari kehidupan sehari-hari mereka masih tetap melaksanakan adat leluhurnya secara taat dan patuh, misalnya: Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya. Bentuk rumah dan letak rumah yang ada di kampung Naga semuanya sama.
Di samping itu dalam pelaksanaan upacara adat semua warga dapat mengikuti dengan hidmat, baik upacara menyepi/hari tabu, hajat sasih maupun upacara perkawinan sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Ketua Adat.

 c.       Ketaatan

Ketaatan warga kampung Naga terhadap hukum adat sangat kuat, hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan kehidupan sehari-hari seperti tabu, pantangan atau pamali bagi masyarakat Kampung Naga masih dilaksanakan dengan patuh khususnya dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang berkenaan dengan aktivitas kehidupannya, pantangan atau pamali merupakan ketentuan hukum yang tidak tertulis yang mereka junjung tinggi dan dipatuhi oleh setiap orang. Misalnya tata cara membangun dan bentuk rumah, letak, arah rumah, pakaian upacara, kesenian, dan sebagainya.
Ketaatan warga ini diawali oleh Tokoh masyarakat dalam membina warganya dengan memberikan contoh yang baik dalam kehidupan sehari-hari, dan memberikan sanksi kepada warga masyarakat secara bertahap. Adapun sanksi yang ada pada masyarakat kampung naga adalah ada dua, antara lain :
  1. Sanksi tertulis
Bila seseorang atau warga masyarakatnya yang melanggar salah satu adat (yang dilarang) yang ada di kampung naga misalnya: upacara menyepi/hari tabu, upacara perkawinan,upacara hajat sasih, maka tindakan yang dilakukan oleh Ketua Adat, pertama dengan cara menegurnya, kedua dengan cara memberikan surat yang isinya menyuruh keluar/pindah dari kampung naga untuk selama-lamanya dan sampai kapan pun tidak bisa mengikuti upacara adat kampung  naga.
  1. Sanksi tak tertulis
Ada beberapa sanksi yang tak tertulis yang berlaku di kampung naga antara lain:
  1. Amanat. Amanat artinya pesan yang disampaikan dari leluhurnya/nenek moyangnya kepada seseorang yang dipercaya. Ajaran-ajarannya agar dilaksanakan sesuai dengan aturan yang berlaku di adat kampung naga.
  2. Wasiat. Wasiat artinya pesan yang diberikan dari leluhurnya kepada seseorang yang dipercaya baik berupa barang atau mantra-mantra agar dilestarikan.
  3. Akibat. Akibat artinya sesuatu yang terjadi yang disebabkan oleh suatu kejadian atau masalah imbalan dari suatu perbuatan yang dilarang.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut di atas hukum adat merupakan salah satu aturan hukum yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat dan selalu dilaksanakan dalam pergaulan kehidupannya. Mengingat pentingya hukum adat tersebut bagi kehidupan masyarakat, maka aturan hukum tersebut selalu dipertahankan dan dijunjung tinggi serta dilaksanakan secara turun temurun dari generasi ke genarasi seperti pada masyarakat adat kampung  naga.
Peran serta tokoh-tokoh masyarakat Kampung Naga seperti telah dijelaskan di atas tidak dilakukan secara insidental atau temporer, tetapi benar-benar dilakukan secara kontinyu dan khusus, sehingga pembinaan kesadaran hukum terarah dan berencana.
Tokoh masyarakat kampung naga memiliki hubungan sosial lebih luas daripada masyarakatnya, hal ini dapat dilihat dari pengetahuan, pemahaman dan ketaatan tokoh masyarakat adat terhadap hukum adat yang berlaku di kampung naga, mereka diyakini oleh masyarakat setempat tokoh masyarakat khususnya Pemimpin adat adalah seseorang yang biasa disebut kuncen,sebagai orang yang dituakan, perkataan kuncen sangat didengar dan dipatuhi oleh masyarakat Kampung adat. Kuncen memiliki hak khusus dalam menerima tamu dan memberi petunjuk-petunjuk khusus dalam kehidupan adat istiadat Kampung Naga.
Peranan kuncen sebagai pemimpin informal di Kampung Naga terlihat konkrit ketika memberi nasihat, saran, dan pendapat serta bagaimana ia mengendalikan perilaku masyarakat Kampung Naga. Kepatuhan warga kepada kuncen karena ia dipandang sebagai pengemban amanat leluhur, hingga apa yang diucapkannya akan dipatuhi termasuk larangan untuk tidak membicarakan sejarah, asal usul Kampung Naga  dan tradisi pada hari-hari tertentu. 

D. Silsilah atau Keturunan di Kampung Naga
Di kampung naga, salah satu budaya atau larangan yang berkaitan erat dengan keturunan adalah pernikahan, dimana setiap warga Kampung Naga yang sudah cukup umur untuk menikah tidak boleh menikah dengan orang dari daerah lain. Mengapa begitu? Karena menurut kebudayaan Kampung Naga hal itu bisa menimbulkan adanya kesenjangan sosial dan bisa membuka celah-celah era globalisasi yang dapat merusak kepribadian atau adat-adat yang masih ada di Kampung Naga, yang masih sangat lekat dengan budaya gotong royong, hormat menghormati, dan mengutamakan kepentingan golongan diatas kepentingan pribadi. Dalam sistem kekerabatan di masyarakat, mengambil garis keturunan ayah (Patrilineal).
 

Note :
Sumber atau data yang saya peroleh berasal dari hasil study tour saya dkk. bersama sekolah kami (SMAN 1 Bekasi) ke kampung naga pada tahun 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar