Interaksi Sosial Masyarakat Kampung Naga
Perkembangan zaman yang cenderung cepat membawa pengaruh
yang luas bagi kehidupan masyarakat. Pergeseran nilai-nilai budaya terjadi di
hampir seluruh kawasan, termasuk kawasan Asia, dan terlebih Indonesia. Banyak
masyarakat di negeri ini telah meninggalkan warisan budaya nenek moyang,
terutama generasi muda yang cenderung lebih condong kepada budaya Barat, dan
melupakan nilai-nilai budaya sendiri. Teknologi komunikasi telah menyebabkan
arus informasi menjadi kian cepat, dan ini mempercepat perubahan-perubahan
dalam masyarakat.
Kendati demikian, kemudahan-kemudahan berkomunikasi yang tercipta pada masa sekarang tidak jarang membawa dampak negatif, seperti apabila dalam istilah anak-anak muda disebut sebagai korban mode, yaitu cara berpakaian seseorang yang sebenarnya tidak pantas dikenakan oleh orang tersebut hanya karena ingin mengikuti trend tanpa melihat lingkungan sekitar dan pantas atau tidak seseorang tersebut mengenakannya. Hal demikian terjadi dikarenakan masyarakat belum siap sepenuhnya menerima keadaan yang sangat cepat berubah. Karena ketidakpastian tersebut maka segala bentuk informasi dapat menembus filter.
Kecenderungan demikian menarik sekali menyimak kenyataan bahwa di beberapa daerah tertentu di Indonesia terdapat masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat yang telah dianut sejak masa nenek moyang hingga kini, salah satu diantaranya adalah masyarakat Kampung Naga yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Secara geografis Kampung Naga memiliki wilayah yang tidak terisolir. Letaknya hanya sekitar 500 m dari jalan raya yang menghubungkan kota Tasikmalaya dan Garut. Kampung Naga mempunyai luas keseluruhan kurang lebih 4 ha dan secara administratif adalah bagian dari desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Berada di tengah masyarakat global, masyarakat Kampung Naga pun tetap tidak melupakan dunia luar dan dapat bersikap kooperatif dengan masyarakat umum maupun pemerintah. Mereka dapat menerima kemajuan-kemajuan teknologi asalkan tidak bertentangan dengan hukum adat yang dipegang. Adat yang dipegang teguh banyak mengajarkan kepada kesederhanaan, pelestarian lingkungan dan sifat gotong royong yang masih cukup kental. Ini semua hal-hal yang mulai terkikis ditengah masyarakat umum pada masa sekarang ini. Hal demikian memberikan inspirasi untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang ada sehingga dapat mempertahankan warisan budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Berikut hasil pengamatan tentang pola interaksi sosial masyarakat Kampung Naga serta wawancara dari beberapa narasumber :
Kendati demikian, kemudahan-kemudahan berkomunikasi yang tercipta pada masa sekarang tidak jarang membawa dampak negatif, seperti apabila dalam istilah anak-anak muda disebut sebagai korban mode, yaitu cara berpakaian seseorang yang sebenarnya tidak pantas dikenakan oleh orang tersebut hanya karena ingin mengikuti trend tanpa melihat lingkungan sekitar dan pantas atau tidak seseorang tersebut mengenakannya. Hal demikian terjadi dikarenakan masyarakat belum siap sepenuhnya menerima keadaan yang sangat cepat berubah. Karena ketidakpastian tersebut maka segala bentuk informasi dapat menembus filter.
Kecenderungan demikian menarik sekali menyimak kenyataan bahwa di beberapa daerah tertentu di Indonesia terdapat masyarakat yang masih memegang teguh adat istiadat yang telah dianut sejak masa nenek moyang hingga kini, salah satu diantaranya adalah masyarakat Kampung Naga yang terdapat di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Secara geografis Kampung Naga memiliki wilayah yang tidak terisolir. Letaknya hanya sekitar 500 m dari jalan raya yang menghubungkan kota Tasikmalaya dan Garut. Kampung Naga mempunyai luas keseluruhan kurang lebih 4 ha dan secara administratif adalah bagian dari desa Neglasari Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.
Berada di tengah masyarakat global, masyarakat Kampung Naga pun tetap tidak melupakan dunia luar dan dapat bersikap kooperatif dengan masyarakat umum maupun pemerintah. Mereka dapat menerima kemajuan-kemajuan teknologi asalkan tidak bertentangan dengan hukum adat yang dipegang. Adat yang dipegang teguh banyak mengajarkan kepada kesederhanaan, pelestarian lingkungan dan sifat gotong royong yang masih cukup kental. Ini semua hal-hal yang mulai terkikis ditengah masyarakat umum pada masa sekarang ini. Hal demikian memberikan inspirasi untuk mengkaji lebih jauh bagaimana sebenarnya pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang ada sehingga dapat mempertahankan warisan budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Berikut hasil pengamatan tentang pola interaksi sosial masyarakat Kampung Naga serta wawancara dari beberapa narasumber :
·
Pola
Hubungan Antar Sesama Warga
1.
Mereka
mengenal satu sama lain di Kampung Naga, sehingga
timbul perasaan saling menyayangi. Menurut Bu Heni, salah seorang warga, “Di Kampung Naga warga hidup
rukun dan saling menghargai. Hal ini terbukti
karena tidak pernah terjadi konflik antarwarga.” Setiap sore hari
ibu-ibu biasa berkumpul bersama untuk berbincang-bincang sambil menunggu suami
mereka pulang dari ladang sedangkan anak-anak bermain bersama setelah pulang
sekolah. Memang terlihat sepele tetapi kegiatan ini memupuk keakraban antar
warga. Sedangkan untuk komunikasi yang membutuhkan penyebaran cepat misalnya
untuk pemberitahuan gempa, bahaya, warga meninggal, ingin mengumpulkan massa ataupun
memberitahukan waktu-waktu penting (waktu subuh, magrib dan isya), digunakan kentongan
besar yang ada di depan masjid agar terdengar oleh semua warga.
2.
Mereka berkewajiban
membantu jika ada yang kesulitan. Prinsip gotong royong juga mereka
anut sebagai pegangan hidup masyarakat karena mereka beranggapan bahwa sikap
gotong royong merupakan hal paling penting dan utama yang harus terus dijaga
dalam berkehidupan. Tidak satu pekerjaan dapat diselesaikan secara individu
kecuali dengan bantuan orang lain. Sebagai contoh, dalam acara perkawinan,
pembangunan rumah tinggal, perbaikan saluran air, sunatan, ataupun hajat-hajat
yang dilaksanakan oleh seseorang. Secara sukarela dan tanpa paksaan masyarakat
lain akan turut serta membantu orang yang mempunyai hajat sehingga dapat
meringankan beban dari orang tersebut. Tak hanya dalam hal yang menyangkut
kesenangan, dalam duka pun mereka tetap membantu. “Bila ada warga yang sakit
secara spontan warga akan memberikan pertolongan,” tutur Pak Ajat, seorang warga
Kampung Naga.
3.
Mereka
berkumpul bersama dalam acara rohani ataupun upacara-upacara adat rutin. Untuk ibu-ibu diadakan pengajian rutin setiap hari Jumat sekaligus arisan. Berdasarkan
keterangan yang kami dapat dari Pak Risman selaku ketua RT, upacara adat yang rutin
diselenggarakan ada enam kali, yaitu pada hari raya Muharam, Maulid, Jumadil,
Ibnu Syaban, Syawal dan Dul Hijah. Upacara ini dilaksanakan semua warga
Kampung Naga.
4. Mereka juga mengikuti
perkembangan zaman dan menggunakan media massa seperti televisi dan radio. Walaupun hanya beberapa yang memiliki tetapi
mereka menggunakannya bersama. Selain mendapat hiburan, hal ini juga menambah
kekompakkan warga karena terjadinya interaksi sosial secara langsung. Biasanya
mereka harus men-charge aki atau dinamonya
terlebih dahulu karena Kampung Naga tidak menggunakan listrik. Bahkan ada
diantara mereka yang pergi ke Kampung Naga luar hanya untuk menonton televisi. Tak
hanya itu, untuk memiliki wawasan lebih mereka juga menyekolahkan anak-anak
mereka pada sekolah umum yang letaknya di luar Kampung Naga. Memang Kampung
Naga sekilas tampak tradisional tapi jangan salah, sekitar dua belas pemuda
Kampung Naga mendapat beasiswa dari pemerintah untuk belajar di Jepang dan
salah satunya adalah Pak Ucup yang telah kembali. Ini menunjukkan bahwa mereka
tidak buta informasi dan dapat menyimak perkembangan-perkembangan masyarakat
lain meski tak memiliki teknologi canggih seperti internet ataupun Handphone.
5. Bahasa yang mereka gunakan dalam
kehidupan sehari-hari sama yaitu bahasa Sunda, baik itu bahasa Sunda asli. Bahasa ini menjadi simbol pemersatu mereka
tetapi mereka tetap tidak melupakan bahasa ibu yaitu bahasa Indonesia, walaupun
terlihat agak kaku dalam pengucapannya. Terkadang ada beberapa warga yang harus
menggunakan bahasa asing (Inggris) untuk berinteraksi dengan wisatawan asing
yang mengunjungi Kampung Naga.
·
Pola Hubungan Sesepuh atau Pemimpin Dengan Masyarakat
1. Masyarakat sangat menghormati
sesepuh atau pemimpin mereka. Sebagai contoh, mereka tidak mau menceritakan asal-usul Kampung Naga bila
ada pengunjung yang bertanya. Hal itu dikarenakan mereka sangat menghormati
wewenang Kuncen selaku pimpinan tertinggi dalam lembaga adat (informal).
Struktur kelembagaan di Kampung Naga ada dua, yaitu formal dan informal. Pada
lembaga formal terdapat Kadus (Pak Suharyo), RK (Pak Okin), dan RT (Pak Risman)
sedangkan pada lembaga informal terdapat Kuncen (Pak Ade Suherlin), Punduh (Pak
Ma’un), dan Lebe (Pak Atang Jaelani)
2. Sesepuh atau pimpinan bersikap
demokratis dan menghargai pendapat warga. Seperti pada pergantian ketua RT dilakukan semacam pemilihan oleh warga.
Namun pada lembaga informal pergantian pengurus dilakukan secara turun-temurun
karena sudah menjadi adat. Adapun warga Kampung Naga telah mengenal dan
mengikuti pemilu.
3.
Sesepuh atau pimpinan dapat mengayomi warga. Mereka selalu memberi arahan kepada warga untuk hidup sesuai dengan adat
dan agama. Terbukti hingga sekarang belum pernah ada warga yang melanggar adat.
Bila ada hal yang perlu di sosialisasikan atau di musyawarahkan, warga dan para
sesepuh atau pimpinan berkumpul bersama di balai kampung, yang dikenal dengan
Bale Patamon. Seperti pada Pemilu 2009 sejumlah warga mengaku, mereka mengenal
nama SBY, Mega, dan Prabowo dari sosialisasi Pemilu di Balai Kampung. Karena semua warga Kampung Naga beragama muslim, ceramah
agama pun sering dilakukan setelah sholat di mesjid.
4.
Sesepuh dan warga bersama-sama menjaga kelestarian
lingkungan dan adat. Mereka
tidak pernah sekali pun menyentuh hutan larangan apalagi merusak karena mereka
meyakini hutan merupakan penyeimbang kehidupan. Memainkan alat musik selain
angklung, terebang dan beluk di dalam Kampung Naga juga merupakan suatu
larangan. Mereka boleh mempelajari dan memainkan alat musik lain di luar
Kampung Naga namun tidak boleh membawa bahkan memainkannya di dalam Kampung
Naga. Hal ini dilakukan agar budaya asli masyarakat yang telah bertumbuh
kembang tidak pudar.
·
Pola
Hubungan Dalam Keluarga
1.
Antara
suami dengan istri terjalin hubungan yang rukun. Mereka
selalu makan bersama dan mengerjakan tugas masing-masing sesuai peranan.
Biasanya pasangan baru harus pindah ke Kampung Naga luar karena keterbatasan
lahan pada Kampung Naga dalam.
2.
Antara orangtua dengan anak-anak terjalin hubungan baik. Di setiap waktu senggang mereka berkumpul bersama sambil
berbincang-bincang atau menonton televisi. Banyak pemuda yang membantu
pekerjaan ayah atau ibu mereka contohnya seperti setelah pulang sekolah, ikut
membantu di ladang, membantu menjaga toko, atau membantu pekerjaan di rumah. Di
Kampung Naga luar retribusi parkir juga menjadi lahan pekerjaan pra pemuda
Kampung Naga.
3.
Pembagian warisan dalam keluarga diatur dalam hukum adat.
Bila dalam suatu keluarga terdapat dua
anak laki-laki dan dua anak perempuan,
maka warisan dibagi rata. Tetapi jika
laki-laki dan perempuan tidak sama, maka warisan dominan dilimpahkan kepada
anak laki-laki.
Kesimpulan
Kesimpulan
Di tengah
era globalisasi, Kampung Naga tampil sebagai kampung yang tetap dapat mempertahankan adat istiadat dan budaya
asli Bangsa Indonesia.
Pola-pola komunikasi masyarakat Kampung Naga yang
ada terbukti dapat mempertahankan warisan
budaya dalam kurun waktu yang cukup lama. Pola-pola
komunikasi tersebut tercipta dari hubungan antar sesama warga, antara sesepuh
atau pimpinan dengan warga dan antar anggota keluarga Kampung Naga.
Note :
Sumber atau data yang saya peroleh berasal dari hasil
study tour saya dkk. bersama sekolah kami (SMAN 1 Bekasi) ke kampung naga pada tahun 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar